Catatan:
Tulisan lama di Multiply yang sudah lenyap link-nya. Dimuat di buku saya,
Amsterdam Surprises.
---
Suatu
hari di akhir 2007, saya mampir ke sebuah toko DVD terlengkap di Amsterdam, tak
jauh dari Stasiun Sentral (kini sudah tutup karena bangkrut). Tak terduga, saya
menemukan Mystic in Bali, sebuah karya Tjut Djalil berjudul asli Leak tahun
1980. Di atas sampulnya tertulis “the holy grail of cult Asian cinema”.Dan
ingatan saya melayang beberapa bulan sebelumnya, saat saya ngobrol dengan
sutradara Joko Anwar seputar film-film Indonesia seperti Jaka Sembung (judulnya
berubah menjadi The Warrior) dan Pembalasan Ratu Pantai Selatan (Lady
Terminator) yang beredar di luar negeri dengan kualitas gambar yang jernih.
Bahkan, dalam DVD Virgin ifrom Hell (judul aslinya Perawan di Sarang Sindikat),
ada film dokumenter berjudul Indonesian Exploitation Cinema yang bercerita
tentang film-film berjenis ini di era 1970 dan 1980an—lengkap dengan analisa
politik Orde Baru. Maka saya pun berselancar di internet, mencari tahu fenomena
apa gerangan, terutama ke situs dua distributor besarnya:www.mondomacabrodvd.com (www.mondomacabrodvd.com) dan www.troma.com. (www.troma.com.)
Indonesian
Exploitation Movie (www.youtube.com)
Dan
olala…saya menemukan banyak fakta bahwa film-film yang dikategorikan film B itu
banyak pemujanya. Beberapa judul di antaranya adalah The Warrior against the
Blind Swordsman (Jaka Sembung dan Si Buta dari Gua Hantu), Daredevil Commando
(Komando Samber Nyawa), and Rambu: Prince of Universe (Pembalasan Rambu), The
Snake Queen (Nyi Blorong), Revenge of Ninja (Gadis Berwajah Seribu), The
Devil's Sword (Golok Setan), Ferocious Female Freedom Fighters (Perempuan
Perempuan Bergairah), Queen of Black Magic (Ratu Ilmu Hitam), dan 5 Deadly
Angels (5 Cewek Jagoan), Jungle Virgin Force (Perawan Rimba), hingga Satan’s
Slave (Pengabdi Setan). film-film bergenre Exploitation Cinema yang di tanah
air sudah terlupakan dan sulit ditemui (kecuali di beberapa tempat di Glodok,
Jakarta) ini beredar secara internasional dan mendapat tempat yang layak,
bahkan dipuja-puja. Fenomena apa ini?
Exploitation
Cinema, Cult Cinema
Eric
Schaefer dalam artikelnya Exploitation Films: Teaching Sin in the Suburbs
menyatakan bahwa film genre eksplotasi adalah film berbudget rendah,
sensasional yang berisi seks, ketelanjangan, dan kekerasan. Dalam Wikipedia,
ditambahkan juga muatan seputar narkoba, monster, freaks, gore, pengrusakan,
pemberontakan, keganjilan, dan banyak lagi. Subgenrenya, antara lain
seksploitation, zombie (seperti Satan’s Slave), perempuan dalam penjara (Virgin
in Hell), kanibalisme (Primitive, film pertama Barry Prima) dan
womensploitation, (Ferocious Female Freedom Fighters). Khusus kasus Indonesia,
Karl mengutip Heider dalam Indonesian Cinema (National Culture on Screen), ada
dua subgenre lainnya: Kumpeni (pahlawan legendaris dengan kekuatan supernatural
yang melawan penjajahan Belanda, seperti Jaka Sembung), dan Legenda
(dramatisasi dongeng tradisional yang acap berhubungan dengan ilmu hitam dan
mistik Timur, seperti Nyi Roro Kidul). Film-film berbudget rendah rendah dari
Indonesia inilah yang banyak beredar di luar negeri (dibandingkan dengan film
festival, saya hanya menemui Opera Jawa, Eliana-Eliana, dan beberapa gelintir
lainnya). Namun mengapa mereka mempunyai fans yang militan, di luar negeri?
Bruce
kimpoi, dalam After Midnight menyebut sinema macam itu sebatai “film yang
selalu ditonton berulang-ulang dan menyajikan hal-hal liyan (otherness)”.
Timothy Corrigan, pada Film and The Culture of Cult, mendefinisikannya sebagai
film yang terpinggirkan, esentrik, dan ganjil. Dan, tentu saja, mereka
mempunyai “hooligans”, penonton militan. “Cult fan boy”, menurut istilah Oliver
Dew, “Nearly Worshipful Audience” kata JP Telotte”, “Devoted audience” sebut
Bruce kimpoi. “Penonton semacam ini berbagi kepuasan mengapresiasi sebuah karya
yang sangat berbeda, dan dalam derajat tertentu membentuk identifikasi
kelompok” kata kimpoi. Timothy Corrigan bahkan menyatakan bahwa penonton tak
hanya mencari karakter dan cerita yang tak familiar, tapi juga gaya, frame, dan
imagistic texture.
Saya
pernah begadang bersama-sama penonton militan macam itu. Bersama Joko Anwar di
acara Night of Terror, acara ritual Amsterdam Fantastic Film Festival, April
2008 . Mereka berteriak-teriak, mencemooh film-film yang diputar karena
adegannya dianggap kurang seru. Bahkan berdandan yang seram-seram. Mengasyikkan.
Asmayani Kusrini, rekan saya di rumahfilm.org juga menemukan fenomena yang sama
di Brussel International Fantastic Film Festival.. Joko memberitahu saya bahwa
hal serupa mulai terbentuk saat Screamfest di Jakarta berlangsung.
“Mahluk”
macam apa mereka? Oliver Dew dalam artikelnya Asia Extreme: Japanese Cinema and
British Hype menyatakan bahwa mereka merayakan keterpinggiran, hal-hal yang tak
akan ditonton dan dinikmati oleh penonton arus utama, khususnya menyajikan
transfregi norma social dan estetis. Sedangkan Barry Grant dalam The Cult Film
Experience menggarisbawahi bahwa memang cult cinema adalah fandom based genre
yang membentuk komunitas mikrokosmis penggemarnya. Singkatnya: “Melewati
batas-batas waktu, kebiasaan, bentuk, dan selera tinggi”, ungkap Telotte.
Kuncinya:
Pemasaran
Oliver
Dew pernah mengkaji fenomena serupa yang diterbitkan Tartan Video dengan label
Asia Extreme di Inggris. Tingginya penjualan DVD film sejenis ini, selain
memenuhi selera fan cult boys juga karena keberhasilan membangun merk dan
komunintas serta mengombinasikannya dengan kebiasaan menonton film asing. Dan
karena para pemuja-penonton itu senang dengan hal-hal yang liyan (the
otherness) dan tak-diketahui (the uknown), serta eksotis, maka mereka pun
meracik pemasaran yang memajang hal-hal semacam itu, khusus untuk penonton yang
tersegmentasi itu.
Bagaimana
dengan kasus film Indonesia 1980an itu? Apa yang membuat para penonton bule itu
tergila-gila dengan film-film yang kerap dicap “murahan” itu?
Pertama,
hal-hal yang ganjil, the unknown, dan aneh bagi orang Barat. Misalnya, majalah
Monsters At Play mengomentari Leak dengan endorsement: “Some of the most
bizarre supernatural horror elements I have ever seen in a motion picture”.
Ilmu hitam dari Asia dan berbagai dongeng dan mitos yang mitis menjadi daya
tarik, dan hal itu yang ditekankan.
Kedua,
keliyanan, hal-hal eksotis. Dari motonya saja, kita sudah bisa melihat seperti
apa isi produk Mondo Macabro: “The Wild Side of World Cinema. Dan kelebihan
sinema Indonesia adalah adanya subgenre yang tidak ada di negeri lain, seperti
legenda lokal dan kumpeni. Dan, para distributor film eksploitasi pun, dalam
dan luar negeri, mengemasnya dengan jitu.
Pertama,
mereka memakai aktor dan aktris asing, walau pun amatir dan baru pertama kali
main film. selain Mystic in Bali ada Rambu (sudah pasti duplikatnya Rambo) dan
, Dangerous Seductress, alias Bercinta dengan Maut). Mereka memakai teknik dari
Hollywood yang dikemas dengan cerita khas Indonesia. Untuk distribusi luar
negeri, semua dialog, tentu saja termasuk trailer, disulihsuarakan ke dalam
bahasa Inggris—kadang memakai terjemahan bahasa Jepang dan bahkan Finlandia.
Dalam cerita, mereka juga mengadopsi sebagian cerita Barat. Misalnya, dalam The
Warrior ada adegan mirip penyaliban Yesus dan di akhir cerita ada perubuhan
gedung mirip Samson dan Delilah.
Silahkan
simak trailer The Warrior sebagai contoh. Beberapa tagline-nya adalah ““Duel of
Art of Eastern Mystic”, “a mutilated body becomes whole when touches the
ground” (saat adegan ajian rawarontek), atau “Supernatural Action Adventure “
Dalam
sulih suara, mereka pun membuatnya menjadi berlebihan, bahkan sekuler.
Misalnya, saat Surti (Eva Arnaz) kekasih Jaka Sembung bersedih, ayahnya
menghibur dengan ucapan :”tawakallah, Surti…”, tetapi di versi Barat diubah
menjadi “I think you underestimate Jaka, Surti”. Saat Jaka ditangkap dan
disiksa hingga buta, ia merapal ayat-ayat suci untuk merubuhkan gedung, tapi
tidak didubbing di versi Barat. Juga ada seorang lawan Jaka Sembung yang botak
yang hanya tampil tak lebih dari 10 menit, tapi di trailer ditonjolkan seorang
pemerkosa yang digjaya.
Begitulah.
Sifat alami the cult fan boys yang memang mencari hal-hal aneh dan ganjil
bertemu dengan film-film yang aneh, mistis, dan marjinal. Dan keduanya
ditangkap oleh distributor asing dan diramu menjadi strategi marketing dan
menjadi, mengambil istilah dari Godfather : “…an offer that cult fan boys can
not refuse”.