Saturday, December 12, 2020

Banyak Ayam, Banyak Rezeki: Surreal Comedy + Mockumentary + The Other Side of Madani


Film Banyak Ayam Banyak Rezeki (Riboet Akbar dan Önar Önarsson, 2020)  adalah sebuah film yang jenaka cenderung sarkas, kritis, nakal, subversif, dan mungkin paling berani dalam mengungkapkan isu islam dan gender setelah Para Perintis Kemerdekaan (Asrul Sani, 1977).

Tidak hanya itu, film berdurasi 101 menit ini  menyajikan sebuah hibrid baru bagi genre film di Indonesia, yang sebenarnya cocok untuk mengkrisi isu-isu sensitif. ia adalah campuran antara dark comedy yang bahkan mengarah ke surreal comedy nan absurd ala Monty Python, dengan mockumentary (seolah-olah dokumenter) model Borat. Dan tentu ada banyak referensi yang terlihat di sana sini saat menontonnya, tapi saya akan fokus pada dua hal ini. 

Sependek pengetahuan saya, tidak banyak film Indonesia yang bergenre mockumentary (selain Keramat, apa ya?) dan surreal comedy (mungkin Matt Dower karya Nyak Abbas Akub, yang sayangnya saya hanya lihat cuplikan-cuplikan pendeknya dari koleksi Pak David Hanan). Dan film ini adalah gabungan keduanya. Plus, karena mengangkat isu-isu yang erat dengan masyarakat muslim, kali ini dengan sisi lain dari umat Islam negeri ini, film ini juga saya anggap sebagai gambaran dari The Other Side of Madani Film. Sintesisnya membuat film ini menjadi one of a kind, unik.

Bagi kalangan tertentu, film ini bisa dianggap terlalu berani, subversif dan malah blasphemy. Tapi bagi yang berpikiran terbuka dan punya selera humor yang tinggi, maka akan disadari bahwa ini adalah penggambaran absurd yang cerdas dan dalam tentang sebuah fenomena dalam masyarakat: Poligami.

Ya, Poligami. Tapi sangat berbeda dengan film-film poligami yang pernah ada. Selain dari cerita dan cara bertutur yang unik seperti dibahas di atas (yang sebaiknya disaksikan sendiri), film ini berkisah juga tentang klenik, kejawaan, dan menyinggung fenomena profesi "motivator". Inilah kisah sukses Arjun, seorang guru yang beralih menjadi pengusaha ayam goreng, Kaliurang Fried Chicken alias KFC, yang, menurut klaimnya,  menjadi berhasil justru karena melakukan poligami. Tak hanya itu, Arjun yang menjadi selebriti itu pun mengangkat dirinya menjadi sumber inspirasi dan membuat acara "Poligami Award". 

Olok-olok juga terlihat saat kita dengan sadar dibenturkan dengan dua hal yang ironis (misalnya, sang guru spritual yang awalnya memberikan nasihat untuk nambah istri, malah ikuti jejak Arjun berdagang KFC), atau dengan terang-terangan menyandingkan antara Kaliurang dan sumber aslinya (Kentucy) yang sama-sama disingkat KFC, dan tentu dengan simbol dan ikon Jawa dan Islam (lukisan Nyai Roro Kidul, berjilbab tapi berpakaian seksi, radio "merek" Islam, "Republik Toa" yang punya volume hingga 11 seperti di klip video Black and White). Juga perbenturan   ideologi (mengganti nama Poligami Award dengan Feminis Award). Termasuk antara adengan dengan lagu (saat ada adegan yang memperlihatkan Arjun melakukan hal tak etis dengan lagu berlirik tentang pemimpin sebagai panutan).

Film ini sebaiknya ditonton langsung, masih bisa disaksikan di Festival Film Dokumenter secara gratis hingga 14 Desember di tautan ini.

Sekadar trivia:  Ini adalah film kedua yang saya tonton tahun ini yang punya adegan yang memperdengarkan suara adzannya, setelah  Flowers and Butterfly (film Thailand penutup Madani Film Festival tahun ini). Dan banyak sekali lagu-lagu lawas yang bertebaran di sini. 

Oh,ya, bagi para akademisi film, silahkan perhatikan cameo-cameo yang ada di sini. 

Trailer:

 


Sunday, December 6, 2020

Catatan FFI di Tahun Pandemi

Selamat kepada seluruh pemenang Festival Film Indonesia 2020!

Khususnya kepada Joko Anwar dan "Perempuan Tanah Jahanam" yang meraih 6 Piala Citra, termasuk Sutradara Terbaik dan Film Terbaik.

Catatan saya seputar FFI di kala pandemi:
1. Setuju dengan Joko Anwar dkk yang mengatakan penyelenggaraan FFI kali ini luar biasa, khususnya di kala pandemi tapi masih bisa menghadirkan acara penganugerahan yang bersahaja tapi khikmat dan meriah.
2. Akhirnya film horor menjadi film terbaik FFI, setelah 2 tahun sebelumnya masuk nominasi ("Pengabdi Setan"). Hal yang tak terbayangkan di era Orde Baru dengan bingkai ideologi "Kultural Edukatif" dalam "Film Nasional" versi mereka.
Kurang lebih sepakat dengan mbak Shanty Harmayn saat pidato kemenangan. Janganlah kita merendahkan genre apapun, karena pada akhirnya orang-orang kreatif di balik pembuatannyalah yang menentukan sebuah film bermutu atau tidak. Ingat, banyak sutradara besar membesut film bergenre popular, termasuk horor: Kubrick, Scorsese, Coppola, dll.
Jangan lupa, di FFI 2020 ada "Ratu Ilmu Hitam" (2 Citra dari 6 nominasi) dan "MangkuJiwa" (2 nominasi)
3. Pandemi membuat panitia FFI juga mempertimbangkan film-film yang belum tayang di bioskop: "Mudik", "Guru-Guru Gokil", dll. Sayang "Bidadari Mencari Sayap" tidak ikutan.
Ini menunjukkan bahwa bioskop bukan lagi satu-satunya tolok ukur dan barometer di jalur distribusi/eksibisi, dan mempertimbangkan jalur distribusi dan eksibisi alternatif. Yang penting: filmnya telah bertemu dengan penontonnya.
4. Senafas dengan no 3, jangan lupakan film-film nominee yang bukan dari jalur arusutama: "The Science of Fictions", "Mountain Song", dan "Humba Dreams".
Semoga film Indonesia cepat bangkit kembali!

Monday, November 2, 2020

Kursus Online: Bagaimana Menjadi Kritikus Film Sukses

 Kamu suka nonton film? Suka membuat review dari film yang kamu tonton? Bisa banget nih kamu jadi kritikus film! Naaah di IndonesiaX Premium, Ekky Imanjaya PhD, Pengulas Film dan Dosen Departemen Film Fakultas School of Design Universitas Binus akan berbagi ilmu mengenai dunia kritikus film.

.

Di kursus ini, kemampuan dasar menganalisa film dan kepenulisan kamu akan diasah hingga kamu bisa terjun menjadi kritikus film yang handal dan sukses. Jangan lewatkan kursusnya hanya di IndonesiaX Premium!

Info dan registrasi: https://www.indonesiax.co.id/premium/courses/course-v1:IndonesiaX+EKKY101+2020_Run1/about 





Kisi-kisi: 




.

#indonesiaxpremium #film #kritikfilm #ekkyimanjaya #belajardarirumah #KursusOnline #KursusOnlineGratis #OnlineCourse #MOOC #KursusDaring #IndonesiaX #OnlineEducation #MassiveOpenOnlineCourse #KursusGratis #elearning #CaraBelajarBaru

Tuesday, September 8, 2020

"Anjing, Lo!" (Ekky Imanjaya, 2004)

 "Anjing, Lo!" (Ekky Imanjaya-full, 2004)

https://www.youtube.com/watch?v=xnbTYRmaeVQ



Tahun 2004, jauh sebelum kata "Anjay" diributkan, saya sudah menulis cerpen seputar penggunaan kata "Anjing" (sebagai makian hingga pujian) beserta derivasinya (anjir, anjrot, jaing, dll).
Dan kemudian saya bikin film pendeknya.
Inilah film pertama saya. Hasilnya? Anjay, gini amat. Hehehe

Saturday, August 22, 2020

NB#5: Lisabona Rahman;Merayakan "Lewat Djam Malam" di Criterion & Kisah-Kisah Kearsipan Film Lainnya

 Nongkrong Bareng #5.

Merayakan  Rilisnya DVD “Lewat Djam Malam” oleh Criterion: 

Restorasi Film “Lewat Djam Malam” dan Kisah-Kisah  Kearsipan Film lainnya.

NB:  Lisabona Rahman (Arsiparis Film lepas, Berlin).


Premiere hari ini! Pukul 16.00 WIB.

https://www.youtube.com/watch?v=-eNjAU2Q058 


Bulan depan, tepatnya 29  September 2020, "Lewat Djam Malam" (After Curfew, Usmar Ismail 1954) akan diedarkan oleh Criterion, sebuah institusi distribusi DVD bergengsi!  NB mengundang  Lisabona Rahman (arsiparis film lepas yang bekerja di Berlin), salah satu sosok penting di balik restorasi film ini. 

Simak diskusi NB seputar hiruk pikuk dan pergulatan merestorasi "Lewat Djam Malam":  dari cetusan awal, ihwal keterlibatan Martin Scorsese dan World Cinema Foundation, hingga diputar di Cannes Classics 2011 dan akhirnya akan dirilis di Criterion.  Tidak hanya diskusi perihal politik budaya dan juga geopolitik budaya pos-kolonial, tapi juga kisah di balik dapur dan trivia yang belum banyak diketahui publik.


Tak  hanya itu, diskusi Jakarta-Brussels-Berlin membahas panjang lebar soal kearsipan film di Indonesia, termasuk restorasi dan preservasi film. Di antaranya, tentang   Sahabat Sinematek yang terinspirasi dari sebuah lembaga independen pendukung bagi National Sound and Film Archive (NSFA), pengalaman Lisabona dalam proses restorasi 4 film Indonesia (termasuk "Aladin" dan "Darah dan Doa"). 

Lisabona dengan analisa yang tajam mengkritisi proses  4 film yang direstorasi secara publik ("Darah dan Doa", "Pagar Kawat Berduri", "Bintang Kecil", dan "Kereta Api Terakhir"),  dan bagaimana politik budaya dan politik selera bekerja. Juga soal keterlibatannya dalam semacam “board of Curators” yang diinisiasi Pusbang Film. Tak lupa, NB membahas juga tentang upaya restorasi film lainnya, seperti "Violetta", dan  "Antara Bumi dan Langit", juga Flik.


Tentu saja, kita membahas harapan dan impian. Misalnya, angin segar kemajuan juga dibahas, seperti disahkannya  Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2018 tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam yan'g mengamanahkan Perpustakaan Nasional sebagai "national repository", yang berfungsi semacam Library of Congress,  termasuk sebagai “gudang” arsip film. Juga seputar kegiatan Arsip Nasional mengundang para arsipatoris film untuk mengadakan pelatihan.

Juga mengapa Lisabona menyatakan bahwa “Restorasi adalah masalah intepretasi”, dan menekankan pentingnya  mata pelajaran “apresiasi seni” dalam kurikulum sekolah, termasuk apresiasi film.

Durasi boleh jadi satu jam lebih sedikit, tapi diskusinya sudah bernilai 2 SKS terkait seluk beluk (atau carut marut?) kearsipan film. Termasuk berbagai kiat dan peluang karir!


Beberapa saat sebelum wawancara terjadi, ada berita Irwan Usmar Ismail,  wafat. Alfatihah.

Friday, August 7, 2020

The book is out: "Southeast Asia on Screen From Independence to Financial Crisis (1945-1998)"

Finally!

"Southeast Asia on Screen From Independence to Financial Crisis (1945-1998)" (co-edited by  Gaik Cheng Khoo, Thomas Barker, Mary
 Ainslie, Amsterdam University Press, 2020) is out!

Do get your university library to order the book. You can use this discount code to get a 20% discount that's valid until 30 September: "Pub_SoutheastAsiaonScreen"

I co-wrote a chapter with Thomas Barker titled Transnational Exploitation Cinema in Southeast Asia: the Cases of Indonesia and the Philippines


More details: visit https://www.aup.nl/en/book/9789462989344/southeast-asia-on-screen (free download of e-flyer and preview of Table of Content and Introduction)

Tuesday, July 14, 2020

Karya Mahasiswa Prodi Film Binus University di Viddsee

Bagi yang ingin tahu film-film produksi mahasiswa Prodi Film Binus University, berikut sebagian karya mereka, dari 2010 hingga 2019. Semua produksi dalam daftar ini ini dibuat ketika sineasnya menjadi mahasiswa, dan di bawah bimbingan para dosen Binus.

Cekidot: https://film.binus.ac.id/2020/07/14/karya-mahasiswa-prodi-film-binus-di-viddsee/


BTW, selain peminatan Produksi Film, peminatan Kajian Film juga dibuka lho.

Apa saja yang diajar? Ini dia katalog kurikulumnya:
https://curriculum.binus.ac.id/program/film/

Tuesday, July 7, 2020

Nongkrong Bareng #3: Garin Nugroho

Kali ini NB merayakan terbitnya buku "Memoar Garin Nugoro: Era Emas Film Indonesia 1998-2019" yang akan beredar akhir Juli nanti. Buku ini seperti mesin waktu yang mengajak kita kembali ke era-era sebelumnya, secara personal.
Nongkrong bareng kali ini berfokus pada sosok Garin Nugroho sebagai penulis, kritikus film, dan juga dosen film dan asisten dosen. Mulai dari liputan pertamanya ke Berlinale Film Festival (1988), juga sebagai dosen pengampu mata kuliah "Film dan Masyarakat" yang fasih membahas sosiologi film, dan sebagai asisten dosen Sumardjono dan Parakitri.

Mas Garin pun bercerita bagaimana dia memberontak melawan sistem rezim Orde Baru, seperti sistem magang, sejak film panjang pertamanya, "Cinta dalam Sepotong Roti" (1991), dan juga mengirimkan film-filmnya ke festival film luar negeri tanpa seizin Departemen Penerangan. Dia juga membahas konsekuensinya: berhadapan dengan "mafia media" yang dikontrol Deppen, mendapat surat teguran dari KFT berkali-kali, hingga disidang, serta perseteruannya dengan Teguh Karya.
Simak pula kedekatannya dengan sosok seperti Nyak Abbas Akub dan Djaduk Djajakusuma, nongkrong bareng Jafar Panahi dan Sydney Pollack, serta pergaulannya dengan kritikus dunia seperti Tadao Sato, Tony Rayns (Sight and Sound) dan Philip Cheah.
Tak lupa pula: bagaimana menghadapi kritik pedas dengan mengolah energi kemarahan menjadi hal yang reflektif dan energi penciptaan.
"Setiap film punya perannya masing-masing"
"Setiap film itu punya tanahnya sendiri".
Video editing: Asmayani Kusrini
https://www.youtube.com/watch?v=EdIpXfzUoh8

Friday, July 3, 2020

" Lisa", an Anomalous Pre-State Ibuism Film, my second virtual conference in COVID19 era

“Women in Indonesian Film and Cinema" : an international virtual conference

Currently, there is a great international virtual conference titled “Women in Indonesian Film and Cinema” happening now. It is still open for video presentation, until the end of the month, just in case any of you have an idea related to topic and want to submit your video presentation (20 minutes duration).
There are several interesting panels, including plenary panel, women’s representation under Patriarchy, Career, Students and Young Filmmakers, History, Documentaries and Webseries, Adaptation, and Works by Female Filmmakers.

Alternatively, you can participate by watching the videos presentation and start the discussion by leaving your questions/comments. Don’t forget to register.
BTW, I also submitted my video presentation at History panel. I am analysing “Lisa”, a 1971 progressive films considered by some film critics as “the first Indonesian horror film”.
Please read the abstract, watch the video, and leave comments/questions.




video presentation: https://kafein.or.id/en/history-panel/

Abstract
Lisa, an Anomalous Pre-State Ibuism Film
Film Critics, Film Scholar, the Film Department, Universitas Bina Nusantara

Mainstream perspectives regarding gender issues, both in popular and scholarly works, underline that generally films in Indonesian New Order (1966-1998) apply State Ibusim theories. On and off-screen, women were marginalized and represented as weak, silent, negative, housewificationed, dan domestificationed. State Ibuism theory was coined by Julia Suryakusuma, formulated based from PKK program (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (Family Welfare Movement), “azas kekeluargaan” (Family Principle), amd and Dharma Wanita (official organization for the wives of civil servants), which were officially issued in 1978. The theory highlight the official attempt of domistification of Indonesian women during New Order era.
However, Lisa (M Syariefuddin A, 1971), produced 7 years before the programs, is an anomalous one. I argue that the film can be read as the window opportunity for producing the progressive film culture. I will answer how different the film with State Ibuism theory by undertaking textual analysis or a close reading of the film. And I will answer why it is different by undertaking New Cinema History approach and highlighting the paradoxes of New Order’s policies.

Saturday, June 13, 2020

Nongkrong Bareng #1: Asmayani Kusrini



NB: “Liputan Festival Film”

Nongkrong bareng Asmayani Kusrini aka Rini (Brussel), redaktur RumahFilm (2007-2012) yang paling aktif meliput festival film, khususnya Cannes, Rotterdam, dan Venice. Rini juga punya akses meliput sineas kelas dunia seperti Werner Herzog, Marjane Satrapi, dan Bahman Ghobadi. Dan, turut menjadi saksi saat restorasi "Lewat Djam Malam" diputar di Cannes Classic 20212.
Simak obrolan dengan Rini seputar festival film di era COVID19 (khususnya We are One), pergumulannya saat mewawancarai Bela Tarr, difoto Jafar Panahi, dan liputan saat hamil besar di Cannes Film Festival. Juga pengalamannya memotret para artis Hollywood seperti Tarantino dan Angelina Jolie, dan mengabadikan sineas Indonesia di Rotterdam, termasuk saat Ekky minta tanda tangan Sokurov.
Sebagian foto yang ditampilkan di sini adalah eksklusif dan belum pernah dimunculkan di media manapun.

Monday, May 18, 2020

"Entertaining the Villagers: Rural Audiences, Traveling Cinema, and Exploitation Movies in Indonesia" <-- My Paper is just out!


Image may contain: 1 person, possible text that says 'Cine-Excess Journal Issue 4 Are You Ready for the Country: Cult Cinema and RuralE cess ASH28 Edited by Joan Hawkins, Xavier Mendik, Janet Staiger & Glenn Ward'Yay! My paper on Layar Tancap/Touring Cinema, Rural Audiences, and Exploitation films during Indonesia's New Order was just published by ournal, no. 4, "Are You Ready for the Country: Cult Cinema and Rural Excess. Edited by Joan Hawkins, Xavier Mendik, Janet Staiger and Glenn Ward. Great edition!

The title of my paper is "Entertaining the Villagers: Rural Audiences, Traveling Cinema, and Exploitation Movies in Indonesia". Link.


You can also download the the PDF of whole journal here: .

Thanks to the editors and anonymous peer reviewer.
Alhamdulillah.

Thank you! Hope it is helpful, particularly to people interested in the Politics of Layar Tancap.



From the Introduction of the 4th Edition of the Journal:
...
...
"While Middlemost concludes her analysis by considering how festivals enhance the cult status of outback horror films, is the rural exhibition practices and viewing patterns that occupy Ekky Imanjaya’s submission. Writing in the article ‘Entertaining the Villagers: Rural Audiences, Travelling Cinema, and Exploitation Movies in Indonesia’, Imanjaya provides a case-study of the travelling cinema (or layar tancap) circuit that became popular in Indonesia during the authoritarian ‘New Order’ era. Here, mobile film screenings for rural based audiences functioned as a direct challenge to the military and political orthodoxy that dominated between 1966 and 1998. The types of production that circulated in these rural contexts alternated between what Imanjaya terms as the “Legend genre” (which recycled popular myths into spectacular action/supernatural narratives) and the Kumpeni genre (that offered more historically specific renditions of the colonial conflicts suffered under Dutch rule). The adaptation of real life trauma for populist entertainment is further confirmed by the additional “Japanese Period Genre” that the author identifies as reflecting Indonesia’s period of wartime occupation, with more internationally oriented productions (combining horror and sexploitation traits) also being marketed to rural audiences through the layar tancap platform. Imanjaya does concede that wider classifications of these Indonesian pulp cinema texts as ‘cult’ did not begin to circulate until the early 2000s, when a range of film titles were marketed to international audiences on the basis of their ‘exotic’ mysticism, generic hybridity and balletic scenes of violence. However, despite differences in content and classification, the author offers a convincing consideration of layar tancap as an Indonesian rendition of midnight movie phenomenon that helped popularise cult material in other global regions. Indeed, the grindhouse exhibition comparison appears confirmed by official Indonesian definitions of layar tancap as a “second class” product that was consumed outside standard cinema venues: “usually the location was an outdoor arena such as a football field.” Although there is evidence of layar tancap screening sessions being exploited by the military regime for propagandist purposes, Imanjaya concludes that these ideological processes remained negotiated and resisted by rural audiences, who favoured the subversive mixture of uncensored film titles that were consumed in a subcultural viewing environment that this form of mobile cinema afforded. As a result, layar tancap and their rural audiences reveal such Indonesian film viewing patterns as a site of cultural conflict between authoritarian state bodies and Indonesia’s resistant regional cinemagoers."

Saturday, May 9, 2020

Kritik Film, Riwayatmu Kini - Webinar Reuni Rumah Film

Live Streaming, mulai 20.00 WIB malam ini.

Reuni RumahFilm dan diskusi buku "Tilas Kritik.

Wednesday, May 6, 2020

Reuni Lengkap Redaktur RumahFilm!

"Kritik Film, Riwayatmu Kini - Webinar Reuni Rumah Film"
Komite Film Dewan Kesenian Jakarta
Buku "Tilas Kritik: Kumpulan Tulisan Rumah Film 2007-2012" adalah sebuah upaya menanggapi kebutuhan akan kritik dan jurnalisme film yang progresif di Indonesia. Sebagai buku, ia berfungsi sebagai dokumentasi kultural baik tentang film Indonesia dan dunia pada periode itu maupun, terutama, tentang kritik dan jurnalisme film mutakhir. Para redaktur di situs Rumahfilm.org menjelajah khasanah film dunia, festival-festival lokal maupun internasional, maupun menjelajahi bentuk-bentuk serta berbagai pendekatan yang mungkin dalam mengapresiasi film. Situs tersebut telah almarhum, walau saat masih tayang cukup sering jadi rujukan para penyuka, peneliti, atau pembuat film di Indonesia. Menulis tentang film sebagai sebuah kegiatan kultural berbuah kumpulan tulisan yang masih bisa jadi bahan berdialektika tentang film saat ini. (Link e-book Tilas Kritik : https://drive.google.com/open?id=1YiMAx-fjtRZo02cUhJd0ygaZvPfJlAsA)

Komite Film Dewan Kesenian Jakarta mengajak Anda untuk menghadiri "Kritik Film, Riwayatmu Kini - Webinar Reuni Rumah Film" bersama para redaktur Rumah Film :
1. Asmayani Kusrini
2. Ekky Imanjaya
3. Eric Sasono
4. Hikmat Darmawan
5. Ifan Ismail
6. Krisnadi Yuliawan

Host : Adrian Jonathan Pasaribu

Webinar ini akan diselenggarakan secara online melalui Zoom pada:

Sabtu, 9 Mei 2020
Pukul: 20.00 - 22.00 wib

Silakan mendaftar terlebih dahulu ke link ini:
bit.ly/WebinarRumahFilm

Webinar ini GRATIS dan terbuka untuk publik.
Peserta terbatas hanya 100 orang. Siapa cepat, dia dapat!

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi 081932921856 (Gayatri) melalui WhatsApp/SMS.

Friday, May 1, 2020

"Kritik Film Indonesia", Diskusi di Webinar Festival. Minggu Siang!

Minggu siang (3 Mei) 1.30-2.30 WIB, yuk ngobrol soal "Kritik Film Indonesia" di Webinar Festival. Bisa disimak di FB IndonesiaX dan di kanal YouTube IndonesiaX . Bisa tanya jawab interaktif juga.

Friday, April 24, 2020

"Tujuh Buku tentang Film"; Kultum Ekky-Hikmat, edisi khusus World Book Day 2020-Indonesia Online Festival

"Tujuh Buku tentang Film"
Kultum Ekky-Hikmat, edisi khusus World Book Day 2020-Indonesia Online Festival
Pembicara: Ekky Imanjaya dan Hikmat Darmawan, Pegiat Budaya Populer

Sunday, April 12, 2020

Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia (4): Film Pendek

Pengantar

Aturan harus ditegakkan. Gratis, online, dan legal alias resmi. Karena itulah, beberapa film pendek favorit saya ada di Youtube, tapi karena tidak jelas legalitasnya, terpaksa tidak saya masukkan ke sini. Sebut saja Dara (Mo Brothers) dan El-Meler (Dennis Adhiswara). Ada juga yang belum saya temukan, seperti film-film karya Tintin Wulia atau film Edwin selain A Very Slow Breakfast dan Trip to the Wound.

Fourcolours FilmsSejauh ini, Viddsee adalah situs yang menjadi sumber utama. Sayangnya, Viddsee tidak ada keterangan waktu, sehingga saya mesti memulung informasi ini di dunia maya.

Selain itu, saya juga mencari-cari film-film ini di kanal YouTube sang sutradara atau institusinya. Atau kanal semacam YomYomF.

Saya menemukan 3 film “lulusan”  Fisfic (Fantastic Indonesian Short Film Competition), ajang kompetisi yang turut saya dirikan Bersama Joko Anwar, Timo Tjahjanto, Kimo Stamboel, Gareth Evans, Lala Timothy, dan Rusly Eddy. Film itu adalah Taxi dan Effect. Sayangnya Rumah Babi, finalis Fisfic favorit saya,  belum saya temukan.
Sebagaimana saya sebut di pengantar di tulisan bagian pertama, kurasi ini tidak dimaksudkan sebagai katalog yang mesti memasukkan film-film pendek penting atau wajib tonton. Yang ada di sini adalah film-film yang daring dan bisa diakses gratis dan legal, yang kemudian saya seleksi. Semoga bisa menjadi pintu gerbang bagi para peneliti/kritikus/jurnalis untuk mengembangkan daftar ini atau menjelajahi dunia maya dan membuat daftarnya sendiri. Atau para sineas atau institusi film lain (termasuk distributor dan festival film) berkenan memberikan masukan kanal dan situs mana lagi yang mesti dieksplorasi.

Oh ya, sebagai perancang daftar ini yang juga dalah dosen di jurusan film Binus University, saya punya hak juga membuat kategori Binus Film School. Semoga berkenan.

Saran saya: segera unduh film-film favorit kalian, khususnya yang ada di YouTube. Karena ada beberapa film  yang sudah saya seleksi dan  kumpulkan dan rupanya harus saya keluarkan lagi dari daftar karena tautannya sudah mati.


Favorit Utama:

Peronika (Bowo Leksono  2004) : https://www.youtube.com/watch?v=hBjZENPbt6Y
Yasujiro Journey  (Fauzan Rizal, 2004) : https://www.youtube.com/watch?v=kwhMIxPF-PI
Bedjo Van Derlaak (Eddie Cahyono, 2003) :  https://www.youtube.com/watch?v=2qIwNtzfFnk
Harap Tenang, Ada Ujian (Ifa Isfansyah, 2006) https://www.youtube.com/watch?v=H0OnMXgIKyU
A Very Slow Breakfast (Edwin, 2003) : https://www.youtube.com/watch?v=h7H1qAssyL4


Drama:

SOMETHING OLD, NEW, BORROWED AND BLUE (Mouly Surya, 2020): https://www.youtube.com/watch?v=Yn5Coc2-5JM&t=9s

Dewi Pulang (Candra Aditya 2017) : https://www.viddsee.com/video/dewi-goes-home/de5o9
The Anniversary (Ariani Darmawan, 2006) https://www.viddsee.com/video/the-anniversaries/5l5hj
The Anniversary (Ariani Darmawan, 2006) https://www.viddsee.com/video/the-anniversaries/5l5hj



Sci-fi:
Effect (Adriano Rudiman , 2011)  (nominee Fisfic): https://www.youtube.com/watch?v=GySobq6X_rU
2045 (Andibachtiar Yusuf, 2005): https://www.youtube.com/watch?v=ngBnlu2cnVI

Horror:
Taksi (Arianjie AZ / Nadia yuliani , 2011)  (pemenang Fisfic): https://www.youtube.com/watch?v=oRt8eqOwmfc&t=93s
Makmum (Riza Pahlevi, 2016): https://www.viddsee.com/video/makmum/awp98
Photobooth (Adrian Kusuma, Citra Pertiwi, tahun? Binus?): https://www.viddsee.com/video/photo-booth/dpiu9
Rengasdengklok (Dion Widhi Putra, 2011) (nominee Fisfic): https://www.youtube.com/watch?v=-1ON0tXstS4
Payung Merah (Andri Cung & Edward Gunawan, 2010): https://www.youtube.com/watch?v=ETFFN-h4eHo
Tambahan: Baru nemu karena waktu itu baru diunggah: Rumah Babi (Alim Sudio, 2011) (Finalis Fisfic): https://www.youtube.com/watch?v=Hw8Guigy-CU&t=713s 


Dokumenter:
Figuran (Vania Ivena, 2015)  https://www.viddsee.com/video/figuran/92x2x
Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! (Ilman Nafai, 2016): https://www.viddsee.com/video/kami-hanya-menjalankan-perintah-jenderal/dwxuw


Tribute to B Movies:
Goyang Kubur Mandi Darah (Azzam Fi Rullah, 2018) : https://www.viddsee.com/video/i-dance-on-your-grave/js1g7

Joko Anwar:
Grave Torture (Joko Anwar, 2012): https://www.youtube.com/watch?v=672iO9Qh3-M


Binus Film School:
Bunglon (Angkasa Ramadhan, 2012): https://www.viddsee.com/video/bunglon/b4ad9
Carnivale (Candra Aditya, 2017): https://www.viddsee.com/video/carnivale/3wi0b
BackSeat (Candra Aditya, 2014): https://www.viddsee.com/video/the-backseat/ilte3
Yuki (Citra Melati, 2012): https://www.viddsee.com/video/yuki/5plbn


Sekolah Kami, Hidup Kami  (Steve Pillar SEtiabudi, 2008)

Dimana Saya? (Anggun Priambodo, 2008) https://www.viddsee.com/video/where-was-i/njlab?channel=9808

Huan Chen Guang (IFa Isfansyah, 2008) https://www.viddsee.com/video/happinessmorninglighthuangchenguang/1ixeu?channel=9808 

A Letter of Unprotected Memories (Lucky Kuswandi, 2008): https://www.viddsee.com/video/letter-of-unprotected-memories/gmatd?channel=9808
Catatan Seorang (Mantan) Demonstran (Wisnu Suryapratama, 2008): https://www.viddsee.com/video/kucing-9808/jg4ia?channel=9808

Tautan terkait:

Seri Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia:

Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia (1): Pengantar dan Rekomendasi Utama   : https://findingjakasembung.blogspot.com/2020/04/nonton-gratis-dan-legal-film-indonesia.html
Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia (4): Film Pendek  




Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia (3): Film Kiwari


Pengantar
Mengutip Gus Dur soal “demoraksi seolah-olah”, mengkurasi film-film yang online, gratis, dan legal itu ibarat makan di restoran Padang. Silahkan pilih yang mana suka, tapi hanya ada boleh pilih yang ada di menu restoran itu.

Karena itu banyak sekali film-film favorit saya yang tidak masuk di daftar ini, karena tidak memenuhi syarat utama dari kuratorial: gratis, legal, dan online.

Saya masukkan juga Horror 2000an, sebuah formula film yang waktu itu banyak yang hujat dan sekaligus banyak penontonnya, dan saya lihat hanya sangat sedikit yang mengulas dan menelitinya dengan serius. Inilah era Nayato dkk, yang sekarang lambat laun semakin ada penggemarnya, seperti yang terlihat dalam film-film pendek Kolong Sinema. Kenapa film-film ini dimasukkan ke sini? Karena film itu adalah penanda zamannya, dan yang saya pilih ini termasuk yang saya lumayan suka, dan beberapa judul dibahas oleh penggemar film cult global.

Penjelajahan ini mengantarkan saya pada banyak film-film Indonesia kontemporer yang belum saya tonton. Sebagian, yang ingin banget saya tonton, saya taruh di Wishlist.  
Ada banyak film yang mustinya saya tidak masukkan, tapi belum saya taruh di sini. Semoga ada waktu lagi untuk mengkurasi lagi. Atau ada teman-teman yang ingin melanjutkan dan memperluas proyek pendataan dan pemetaan ini.
Perempuan Tanah Jahanam dan 6 Film Joko Anwar yang Wajib Ditonton ... 
Favorit Utama:
Dua Garis Biru (Gina S Noer, 2019) : https://www.iflix.com/id/en/title/movie/267380
Pocong the Origin (Monty Tiwa, 2019): https://www.iflix.com/id/en/title/movie/245374
Cek Toko Sebelah:  Cek Toko Sebelah (Ernest 2016) : https://www.hooq.tv/id/play/12da130a-43c0-43d9-81a4-7ef9901ee84e




Komedi

Drama
Selamat Pagi Malam (Lucky Kuswandi, 2014): https://www.iflix.com/id/en/title/movie/198726
Mantan Manten (Farishad Latjuba, 2019): https://www.iflix.com/id/en/play/movie/241106


Biopic


Horor /Thriller



Laga/Silat
Surau  dan Silek (Arief Malinmudo , 2017) https://www.iflix.com/id/en/title/movie/232424

Horor 2000an
Nakalnya Anak Muda (Nayato Fio Nuala, 2010): https://www.hooq.tv/id/play/e3da4fe4-d83f-41d7-a372-83cfa835e63d


Wish List


Berikutnya:
Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia (4): Film Pendek  
https://findingjakasembung.blogspot.com/2020/04/nonton-gratis-dan-legal-film-indonesia_47.html




Tautan terkait:

Seri Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia:

Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia (1): Pengantar dan Rekomendasi Utama   : https://findingjakasembung.blogspot.com/2020/04/nonton-gratis-dan-legal-film-indonesia.html
Nonton Gratis dan Legal Film Indonesia (4): Film Pendek  
https://findingjakasembung.blogspot.com/2020/04/nonton-gratis-dan-legal-film-indonesia_47.html