Friday, July 22, 2022

Seputar Ritual dan Partisi….Pasi Penonton: Pengalaman seorang “Virgin” Menonton Rocky Horror Picture Show

Dimuat di Majalah Fovea, 2014.

Media fans are consumers who also produce, readers who also write, spectators who also participate (Henry Jenkins)

 

 


Sebagai seorang yang sedang mendalami film Cult dan eksploitasi, tentu saya pernah mendengar betapa gokilnya pencinta The Rocky Horror Picture Show (RHPS, Jim Sharman, 1975) dan bagaimana mereka punya ritual tersendiri saat menonton.

Ketika mengetahui bahwa film itu akan diputar di Cinema City, jaringan bioskop art-house Picture House di Britania Raya, tentu saja saya antusias. Tetapi  “membaca” dan “mengalami langsung” adalah dua hal yang secara signifikan berbeda drastis!

Sebagai gambaran, film ini beredar di bioskop Amerika pada pertengahan 1970am,. Tepatnya di Westwood, Los Angeles pada 14 Agustus 1975.  Awalnya, saat diputar sore hari, film ini tak banyak ditonton. Barulah  sejak diputar tengah malam di Waverly Theater, (sebuah bioskop yang sukses memutar midnight movies seperti  El Topo dan  Night of The Living Dead)\di New York City pada 1 April 1976, film ini menjadi istimewa, khususnya bagaimana para penonton maniak bereaksi sepanjang film.  Ini terjadi karena promosi dari mulut ke mulut penggemarnya. Bersama dengan Pink Flamingos (1972) dan Reefer Madness (1936), RHPS menjadi salah satu midnight movie terlaris. Dan di pertengahan 1978, film ini sudah diputar secara rutin setiap malam Jumat dan malam Minggu tengah malam di lebih dari 50 lokasi, buletin internal diproduksi, dan para fans berkumpul layaknya sebuah konvensi. Dan di akhir 1979, film ini diputar dua kali sepekan di lebih dari 230 bioskop.  Salah satunya adalah  the Museum Lichtspiele cinema di  Muenchen,  yang memutarkannya tiap pekan sejak 24 Juni 1977.

Jika kita belum menontonnya langsung di gedung bioskop—walau pun sudah menontonnya online atau di televisi atau DVD—anda belum sah menjadi pencinta RHPS dan masih berstatus  ”virgin”. Jika dan hanya jika kita menontonnya dengan ritual-ritual yang ada, barulah sah dianggap sebagai cult follower-nya.


Saya pernah menonton midnight movie. kala itu, di Amsterdam Fantastic  Film Festival 2008, saya bersama Joko Anwar menonton lima film sekaligus, dimulai dari jam 11 malam dan selesai sekitar pukul 7 pagi. Para penontonnya sangat interaktif, mereka akan berkeluh kesah jika adegan kurang sadis, bahkan berteriak ”boo”, atau melempar gulungan tisu toilet. Mereka juga punya perlombaan, seperti pencarian Ratu Jerit dan lomba kostum horor terbaik. Tetapi RHPS di atas itu semua. Dan di atas ekspetasi saya!

Kami telat sekitar 5 menit menontonnya, karena agak bentrok dengan ajang Norwich Film Festival. Kami tiba saat adegan Over at the Frankenstein Place, dan pelan-pelan duduk di agak belakang. Saat itu, suasana sudah menghangat. Mayoritas memakai kostum heboh a la karakternya, khususnya Magenta, Columbia, dan Dr. Frank N. Furter, lengkap dengan dandanan, topi khas, dan rambut palsunya. Saat  adegan hujan, kami merasakan rintik-rintiknya, sementara yang lain sudah mengantipasi dengan menutupi kepala dengan koran. Wow ada apakah ini? Rupanya sebagian penonton memakai pistol air untuk menyemprot-nyemprot.  Semuanya riang gembira, tak ada yang protes, seakan sudah tahu bahwa ini bagian dari ritual. Saat lirik lagu ”there’s a light” berkumandang,  para penonton menyalakan lilin, zippo, senter, dan apapun yang menyala. Dan tentu sambil berdendang bersama. Mirip dengan melihat konser musik rock!



Adegan berikutnya, Sang Kriminolog muncul dan kembali bercerita. Di sinilah, saya sadar bahwa setiap nama Janet disebut, semua orang berteriak ”Slut!”, dan kala Brad disebut semua memaki ”Ass Hole!”.  dan ini dilakukan secara konsisten, berkali-kali, dengan riang gembira.

Tentu saja, adegan paling ditunggu-tunggu adalah  saat lagu Time Warp dinyanyikan. Tak ayal, sebagian menonton  berdiri dan berjingkrak-jingkrak di atas kursi, dan malah ada yang maju ke depan dan menari, mengikuti gaya di layar besar. Dan tentu saja, mereka bernyanyi bersama-sama. Seorang penonton cewek di sebelah saya, tidak berhenti bernyanyi  dari awal sampai akhir. Tidak hanya itu, dia dan puluhan penonton lainnya, mengikuti dialog-dialognya, jeritannya, hingga dialek dan ke titik koma. Dan jika penonton sudah mengutip kalimat-kalimat dari film di luar kepala, termasuk intonasi dan dialeg hingga titik komanya, ini tanda-tanda sebuah film cult yang hebat, menurut Umberto Eco.

Ketika tokoh utama muncul, mereka bertepuk tangan, seolah menyambut pahlawan.  Dan lagu Sweet Transvestite pun berkumandang, seperti karaoke massal. Hingga adegan Dr. Frank mengundang   kedua tamunya ke laboratoriumnya.

”So come up to the lab. And see what's on the slab.
I see you shiver with antici (berhenti beberapa detik)... pation!

But maybe the rain isn't really to blame
So I'll remove the cause, (berhenti sejenak dan tertawa kecil)…but not the symptom”.

Demikianlah. Tidak hanya bernyanyi dan menari atau bertepuk tangan menyoraki adegan tertentu, mereka juga ingin masuk ke dalam cerita dan mengalami hal-hal yang menimpa karakternya. Saat adegan pernikahan, para penonton menabur kertas-kertas mengkilap (di bioskop lain, beras yang ditabur). Kala adegan Dr. Frank memakai sarung tangan karet dan menimbulkan bunyi khasnya, para fans melakukan hal yang sama untuk mempertegas  efek suara.  

Yang menarik, tak hanya menikmati dan memuja, mereka juga mengkritik. Ada adegan Brad dan Janet diantar ke kamar terpisah, penonton berteriak: “kamarnya kok sama persis, sih!”. Dan saat adegan sudah mau masuk bagian akhir (yang sengaja tidak saya terangkan di sini), ada penonton memaki: “Nah! Dari sini cerita tidak logis lagi!”, yang disambar oleh lainnya dengan satu kalimat yang menimbulkan tawa: “lagi?”. Mengomentari kesalahan (bloopers, dialog murahan, adegan kocak)  adalah hal yang biasa, bahkan lazim terjadi, karena memang lama-lama pasti terlihat, secara ditonton berkali-kali. Bahkan, tiap daerah dan fans club katanya punya ritual yang berbeda, kecuali yang beberapa yang wajib hadir. Dan terkadang, sering ada pertunjukan sebelum film dimulai, apakah itu kuis, teater mini, bahkan konser music yang mereka ulang dunia reka-percaya RHPS.

Di arena ini, semua hal diterima, selama saling menghargai dan menghormati. Tidak ada aturan baku, khususnya dalam mengomentari atau mereka-ulang adegan.

Perayaaan oleh penggemar semacam ini adalah tanda-tanda sebuah sinema cult. Umumnya, tidak hanya partisipasi di gedung bioskop, namun juga dalam memproduksi teks seperti forum, blog, fanzine, dan newsletter berkala.

 

Kasus Indonesia?

Bagaimana dengan Indonesia? Sayangnya, kebanyakan kritikus, jurnalis, dan akademisi film masih didominasi oleh kajian teks, alias isi dan cerita, tetapi tidak terlalu banyak yang memperlebar penelitian dan penemuannya pada hal-hal yang bersifat analisa industri, fan studies, dan reception studies.  Mungkin karena usaha menuju ke arah lain ini belum didukung oleh fenomena di lapangan.

Di Barat, film-film eksploitasi Indonesia di akhir 1970an hingga awal 1990an dirayakan dalam bentuk forum online, blog, dan beberapa pemutaran (nobar). Film-film semacam Jaka Sembung atau  Pembalasan Rambu, semua yang diedarkan lagi oleh distributor luar, dibahas dengan detil oleh fan yang haus akan adegan yang dianggap eksotis, aneh, dan penuh petualangan yang berbeda (the other) dan tak diketahui (the unknown) sebelumnya oleh mereka. Beberapa orang menamakan film kita macam itu dengan sebutan Crazy Indonesia dan Indonesia Cine-Insanity. Di Indonesia, Saya melihat cukup banyak penggila film yang juga kolektor DVD, Laser Disc, bahkan VHS film-film jadul. Dan selain dari rilisan distributor luar, mereka juga mendapatkan akses lewat Layar Tancap dan VCD murah meriah dari

Bagaimana dengan film yang lebih mutakhir? Saya termasuk di antara penonton Kantata Takwa yang berkaraoke berjamaah satu gedung bioskop di Blitz Megaplex, saat film ini diputar. Dan, cukup banyak orang yang mengambil beberapa dialog dari  beberapa film (seperti Warkop dan Ada Apa dengan Cinta) untuk dijadikan bagian dari percakapan umum.

Namun, memang, penelitian di luar text utama (film secara internal) belum terlalu banyak dilakukan. Kalau  pun ada, sebagian adalah karya akademis dan masih di dalam rak perpustakaan kampus-kampus. Dan,  berdasarkan pengalaman saya mengerjakan buku Menjegal Film Indonesia, kesulitan utama untuk kajian industri adalah dalam pengumpulan data. Tapi untuk kajian fan dan resepsi, sepertinya bisa dilakukan.

Terus salah gue? Salah temen-temen gue?

Gila lu, ndro!

 

Box

Kisah Semesta Campur Sari yang Bikin Candu

 

Sebenarnya, apa yang dikisahkan dalam film Rock Horror Picture Show? Ceritanya  sederhana:  seorang kriminolog menceritakan tetnang sepasang kekasih yang baru bertunangan (Brad Majors dan Janet Weiss, yang diperankan Barry Boswich dan Susan Sarandon, mereka aktor Amerika satu-satunya di film ini, yang lain diperankan oleh aktor Inggris) yang  mobilnya mogok di tengah hutan, di malam bulan November 1974. Mereka  mencari bantuan di kastil terdekat, yang adalah sekelompok orang yang berkumpul untuk  Annual Transylvanian Convention,  di antaranya Riff Raff (yang mirip Igor di film Frankenstein) , adiknya Magenta, dan seorang fans bernama Columbia. Puncak dari acara itu adalah demonstrasi dari  Dr. Frank N. Furter (penampilan perdanaTim Curry),  seorang yang dalam kalimatnya sendiri adalah ” Sweet Transvestite from Transsexual, Transylvania”,  untuk menghidupkan kreasinya: pria berbadan sempurna bernama Rocky Horror.   Dan, setelah itu, plot bergerak, yang sebaiknya tidak diceritakan di sini tapi dirasakan langsung. Dan Brad dan Janet terjebak dalam dunia fantasi yang unik, kumpulan makhluk dari planet Transexual di galaksi of Transylvania, khususnya sang saintis.

Film gaya apakah ini? Jika dilihat dari adegan awal yang ikonik, bibir merah perempuan menyanyikan lagu Science Fiction/Double Feature, kita langsung menyadari bahwa ini adalah gabungan antara sci-fi dan musikal.  Tokoh utama yang ilmuwan, joget-joget diiringi lagu Time Warp tentang mesin waktu, adalah elemen yang kental dengan fiksi-sains. Dan musik-musiknya, begitu mudah diingat dan juga untuk membuat badan bergoyang. Tentu saja, tokoh Riff Raff dan Rocky Horror mengingatkan kita pada kisah Frankenstein, khususnya film The Revenge of Frankenstein. Salah satu lagunya dengan terus terang menyebutkannya:  Over at the Frankenstein Place.

Awalnya, cerita RHPS dipentaskan untuk drama panggung, ditulis oleh Richard O’Brien (yang menjadi Riff Raff), dan pertama kali dipanggunggkan di  the Royal Court Theatre Upstairs, London, pada 19 Juni 1973, dengan pemain Tim Curry, Julie Covington, Christopher Biggens, Richard O'Brien, Patricia Quinn, Nell Campbell, Paddie O'Hagan and Rayner Bourton. Sebagian dari mereka main lagi di filmnya.