Hingga saat ini, belum ada sebuah daftar resmi yang
menyatakan film terbaik Indonesia
sepanjang masa. Di luar negeri, hal ini lumrah terjadi, bahkan tidak hanya
daftar “film terbaik”, tapi lebih variatif, seperti “film komedi terbaik”,
“film 1990an terbaik”, atau “film Deddy Mizwar terbaik”. Di Indonesia, sedikit kelompok membuat daftar versi mereka sendiri,
biasanya jurnalis atau kumpulan kritikus film.
Berbeda dengan musik, cukup banyak yang mengeluarkan
daftar masing-masing, khususnya dari majalah Rolling Stone yang acap membuat
daftar “gitaris terbaik”, “album terbaik” dan sebagainya.
Membuat daftar trivial semacam ini cukup penting
karena, menurut Umberto Ecco, dari daftar semacam inilah kebudayaan dibentuk. “Daftar adalah asal usul kebudayaan. Ia adalah
bagian dari sejarah seni dan kesusastraan,” ujar Eco dalam sebuah wawancara
dengan majalah Spiegel. Karena, kebudayaan
umumnya bermaksud untuk menciptakan ketertiban. “Justru daftar ini tidak
merusak budaya, tapi menciptakannya. Dimanapun Anda melihat dalam sejarah kebudayaan,
Anda akan menemukan daftar" jelas budayawan dan filsuf itu.
Berikut adalah daftar film Indonesia terbaik versi
saya. Film-film yang saya pilih
rata-rata film klasik. Saya termasuk yang percaya bahwa film-film terbaik
justru yang dibuat di masa lalu. Karena itulah, menonton film-film penting ini
sangat penting agar kita bisa paham sejarah dan tahu sudah sampai dimana dan
mau kemana perfilman Indonesia kita. Untuk penonton, daftar semacam ini bisa
menjadi semacam panduan menonton.
Sayangnya, semua film ini tidak bisa diakses DVDnya.
Sebagian besar bisa diakses di Sinematek Indonesia, dan hanya diputar dalam
acara khusus seperti di Kineforum DKJ atau festival film seperti JIFFEST.
Lewat Djam Malam (Usmar
Ismail, 1954)
Film
terbaik dari sutradara terbaik Indonesia. Tak heran kalau film ini adalah pilihan
pertama untuk direstorasi total di L’Immagine
Ritrovata atas biaya National Museum of Singapore dan World Cinema Foundation,
dan diputar di seksi Cannes Classic di Festival Film Cannes 2012, festival film
paling bergengsi di dunia.
Film
karya Bapak Film Indonesia ini berhasil menguak tentang perang batin
manusia-manusia Indonesia paska-revolusi fisik. Tidak hanya sukses membahas
tentang degradasi moral dan perubahan social tak jauh dari berdirinya
Indonesia, tapi juga tentang pergulatan manusia,, budaya, dan kemanusiaan di
pertengahan 1950an yang bersifat universal. Di sini kita bisa melihat Bandung
di tahun 1954, setahun sebelum Konperensi Asia Afrika (dan Pemilu pertama).
Pagar Kawat Berduri (1961,
Asrul Sani)
Film
terbaik Asrul Sani, sebagai sutradara sekaligus penulis scenario. Film ini adalah adaptasi dari film pendek, dan
setelah filmnya dibuat, Trisnojuwono mengangkatnya menjadi novel. Film ini
berlatar belakang revolusi fisik, ketika banyak tentara Indonesia ditawan
penjajah Belanda. Banyak yang mencoba melarikan diri, tapi susah. Justri Parman
(Sukarno M Noer) bersahabat dengan seorang Belanda (B Ijzerdraat), yang
membuatnya dituduh pengkhianat,
Ide
humanisme universal sangat kuat di sini. Sebuah film perang yang anti perang
dan nyaris tidak ada adegan peperangan. Dan pergumulan ide-ide filosofis penuh
makna seputar perjuangan dan kemerdekaan hadir di sana sini. Ceritanya cukup
kontroversial: tentang pergulatan batin seorang Belanda yang anti penjajahan.
Si Mamad (Sjuman Djaya, 1973)
Saya
berani bilang, film ini tidak kalah dengan mahakarya semacam Ikiru dari Akira Kurosawa (Jepang) atau Umberto D garapan Vittorio de Sica
(Italia). Film ini bercerita tentang
Mamad, seorang pegawai negeri tua yang korupsi alat tulis kantor kecil-kecilan,
sementara istrinya sedang hamil tua. Merasa bersalah, ia melapor diri dan ingin
diproses hokum, namun tak ada yang peduli. Di sini, sang sutradara menunjukkan
posisinya yang tegas terhadap sikap anti korupsi, kejujuran. Inilah sebuah
pengembaraan batin dari orang kecil yang ingin mengembalikan harta yang bukan
haknya, tapi terdengar bagai angin lalu
oleh budaya korupsi yang akut. Sebuah komentar social yang keras dan menyentuh,
dan masih sangat relevan hingga saat ini.
Judul
film ini berubah berkali-kali Dari Matinya
Seorang Pegawai Negeri, Ilalang sampai
akhirnya Renungkanlah Si Mamad.
Film ini kemudian populer dengan judul Si Mamad saja.
Kantata Takwa (Eros
Djarot/Gotot Prakoa, 2008)
Apakah
ini film musikal? Semi-dokumenter? Eksperimental? Puitis? Label dan cap tak
bisa mengurung dan membatasi film ini. Ia menunjukkan jati dirinya sendiri dan
meneriakkan protes kritis mereka terhadap kekuasaan. Inilah kombinasi sempurna
dari orang-orang terhebat di bidangnya, di antaranya: Iwan Fals, Rendra, Erros
Djarot, dan Gotot Prakosa. Nilai lebih bagi pencinta band Kantata Takwa: mereka
akan dibawa bernostalgia dan bahkan berkaraoke saat menonton! Walau dibuat awal
1990an, namun pernyataannya masih relevan hingga saat ini. Dan ketika ide
sebuah karya bisa terus bergema tanpa bisa diusangkan waktu, inilah salah satu
ciri sebuah mahakarya.
Film ini adalah sebuah contoh nyata
bagaimana sekelompokl seniman idealis berjihad melawan kemungkaran dengan
karya, ketika sang diktator masih berkuasa. Dan, sebagaimana ditegaskan Rendra,
takwa menjadi garis orbit perjuangan mereka.
Pedjuang (Usmar Ismail, 1960)
Film ini adalah salah satu film
pertama Indonesia yang berlaga sekaligus Berjaya di festival dunia. Bertarung
di Moskow International Film Festival kedua, Bambang Hermanto mendapatkan
Silver Prize sebagai Aktor Terbaik. Para pejuang tidak ditampilkan sebagai
mitos orang suci, sempurna, dan superhero, tapi sebagai manusia utuh, lengkap
dengan kelebihan dan kekurangannya.
Film berlatar tahun 1947 kala sebuah
peleton pimpinan LEtnan Amin ditugaskan untuk mempertahankan sebuah jembatan.
Terjadilah kisah asmara antara Amin dengan Irma (Chitra Dewi), salah seorang
pengungsi. Di satu pihak, Sersan Mayor Imron (Bambang Hermanto) juga menaruh
hati pada Irma. Kisah asmara segitiga ini menjadi bumbu di tengah perang revolusi
fisik dan representasi manusia Indonesia di awal kemerdekaan, dari para pelaku
sejarahnya langsung.
Tjoet Njak Dhien (Eros Djarot, 1986)
Film perang terbaik dan terkolosal
sekaligus. Di film terbaik FFI 1088 itu, Christine Hakim bermain dengan sangat
apik sebagai pemimpin perang wanita di Aceh, Tjoet Nyak Dhien, dan menyabet
Piala Citra keenamnya, terbaik dalam sejarah film. Film ini totalnya
mendapatkan 9 Piala Citra, termasuk Film Terbaik. Dan menjadi salah satu film
Indonesia pertama yang diputar di Festival Film Cannes.
Film berfokus pada Tjoet Nyak Dhien
yang menjadi pemimpin perang Aceh setelah kematian suaminya, Teuku Umar (Slamet
Rahardjo), dan mengalami pasang surut pertempuran dan pengkhianatan hingga ia
menjadi buta dan diasingkan ke Sumedang.
Para Perintis Kemerdekaan (Asrul Sani, 1977)
Film Asrul Sani yang diangkat dari 2
karya HAMKA, Ayahku dan Di Bawah Lindungan
Ka’bah. Film paling keras yang berbicara soal hak wanita dalam Islam dalam
atmosfir budaya patriarkal tradisional. Bayangkan: Agar boleh bercerai dengan
suaminya yang zalim, sang istri bertekad akan murtad dari Islam secara
terang-terangan di masjid!
Kisah berfokus pada Halimah, pengikut
Haji Jalaluddin yang ditangkap Belanda saat berkhotbah. Ia juga disia-siakan
oleh suaminya, seorang pengikut Belanda yang disegani dan punya status social
yang tinggi. Sang suami tak mau menceraikannya, dan saat Halimah minta pendapat
seorang kyai tradisional, permintaan cerainya ditolak bahkan dianggap tak
berbakti pada suami. Untuk pertama kalinya dalam sebuah film, dikisahkan nasib
seorang wanita yang hendak bercerai karena berbeda ideologi (Halimah anti
penjajahan Belanda), dimusyawarahkan secara terbuka di sebuah masjid agung di
Minang Kabau.
Dimuat di majalah ESQ Media edisi perdana/Mei 2013
dan tak satupun terlihat di kotak hitam televisi .. sekedar sekalikali mengganti sinetron dan kamar gosip :(
ReplyDelete