Sunday, August 14, 2022

" Rindu Kami pada-Mu": Puing-Puing Orde Baru

Film sederhana dari Garin Nugroho (2004) itu melukiskan secara mengharukan tentang puing-puing Jakarta dan masyarakat kecilnya di sebuah pasar kampung kumuh. Jakarta yang digambarkan adalah Jakarta yang penuh masalah perumahan, urban, bagaimana masyarakat (Muslim) di sana, di saat bulan Ramadhan, mempraktikkan seni bertahan hidup. Soal spasial menyeruak dengan salah satu isu paling legendaris dalam sejarah orde baru: penggusuran. Juga kritik terhadap nilai kebersamaan dan gotong royong yang selama ini kental dalam masyarakat.

Menurut Mark Shiel, arsitektur neorealist tidak hanya menimbulkan urgensi kebutuhan praktis untuk solusi masalah perumahan, tapi juga kebutuhan psikologis untuk solidaritas  (Shiel 2006: 78), dan film ini menyajikannya. Gotong royong menjadi keseharian di sana. Saat Bimo ngambek, para tetangganya. Imah membantu Rindu, anak korban gusuran,  dan membawanya ke rumahnya serta memeliharanya. Para tetangga yang mau mudik menitipkan kunci (bahkan juga ayam) kepada pak guru Bagja dan Imah. Kritik pun muncul: “Saya tidak mengerti, kok membangun masjid sebesar ini saja lama benar. tapi orang-orang pada nyepuh emas. Mereka ingin tampil necis dengan kalung dan gelang sepuhan pas lebaran”.

Isu kesenjangan komunikasi juga terlihat. Sosok bisu-tuli bernama Rindu menjadi narrator, dan  tokoh Sabeni yang gila mikrofon adalah tanda-tandanya. Seorang gadis, Fara, tak mampu berkomunikasi dengan baik dengan ayahnya. Sabeni tak mampu memahami anaknya yang kangen dengan sang bunda, Romlah.

Isu gender juga bergulir. Selama kekuasaannya, Orde Baru mengukuhkan State Ibuism--istilah yang dipakai Julia Suryakusuma yang menegaskan domestifikasi wanita Indonesia; bahwa perempuan ideal adalah yang menerima takdir sebagai ibu dan istri (Suryakusuma 2004: 162, 164; lihat juga Sen 1994: 138). dan Bapakisme dalam trinitas institusi Negara-Agama-Keluarga (Brenner 1999: 32). “Wanita adalah tiang Negara”, begitu hadis yang selalu disitir, dan karenanya tugas wanita adalah ikut suami dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Proses domestifikasi dan Iburumahtanggaisasi (housewification) yang melindungi sistem partiarkal dan  menyanjung maskulin militerisme dikonfirmasi lewat jalur agama. Dan film ini menolaknya dengan juga idiom-idiom agamis.


Sabeni, misalnya, melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada Romlah, istrinya, yang menyebabkannya minggat. Bimo diperlakukan secara kasar oleh abangnya dan menemukan kelembutan keibuan pada Cantik. Imah, ditinggal oleh kedua suaminya dengan cara yang tidak bertanggungjawab. Yang menarik, wajah suami-suami Ima dan bundanya Asih tidak pernah terlihat. Ini adalah kasus-kasus laten dan tersembunyi akibat konsep gender Orde Baru

Konsep partiarkal itulah yang membuat sebagian besar tokoh perempuan dalam film di masa Orde Baru terlihat pasif dan lemah--sebagaimana ditulis Krishna Sen dalam Framing New Order. Bahkan tokoh perempuan kala itu umumnya didefinisikan oleh tokoh protagonist pria (Sen 2008). Tapi, kegigihan Imah dan pemberontakan Romlah membuktikan sebaliknya. Keduanya melakukan perlawanan, di antaranya, dengan semangat keislaman.

Sebaliknya, menurut temuan Clark Marshall, sejak Kuldesak, tokoh pria banyak yang digambarkan sebagai karakter negatif (Marshall 2004: 124), tak terkecuali di Rindu Kami. Sabeni, misalnya. Tetapi, dengan semangat relijius, Sabeni sadar dan selalu membasahi tangan-tangannya dengan air wudhu--menuruti nasihat sang istri.

Sabeni adalah tokoh yang termakan propaganda Bapakisme dan State ibuism yang menerapkan azas kekeluargaan dan Program Kesejahteraan Keluarga (Oey-Gardiner & Bianpoen 2000: 58).. Bapak adalah figure sentral keluarga, penguasa, dan pemimpin di rumah. Istri, ikut suami.    Dan perkawinan adalah institusi yang menahbiskannya (Jufri (eds.) 1992: 34).  Film ini mengkritisi kekerasan domestikdan ideology gender orde baru yang memang melemah setelah Reformasi.  

Penggusuran dan kekerasan domestic adalah dampak luas dari dwifungsi ABRI. Dwifungsi pada intinya adalah eufimisme dari pengawasan militer dan control atas kehidupan nasional  (Honna 2003: 3), dengan pendekatan stabilitas dan keamanan untuk represi politik dan pengawasan idelogi  (Honna 2003: 9, 88). Masyarakat sudah terbiasa dengan kekerasan  dan karenanya menirunya.

Intinya, film ini adalah perlawanan terhadap Orde Baru, dan Islam yang menjadi alat kekuasaan Orde Baru dilawan dengan Islam juga, yang “serupa tapi tak sama”. Persis seperti judul buku Ali Syariati: Agama vs “Agama”, atau Syiah Hitam vs Syiah Merah.



Friday, August 12, 2022

Nyi Nana, Air Tenang Bergejolak

Nana dan Ino duduk santai berdua,  mengawasi anak-anak. Mereka sedang piknik di sebuah kawasan di Jawa Barat. Keduanya pun berdialog tentang kebebasan yang mereka inginkan.  “Tidak harus menjadi sempurna”, “bisa punya usaha tanpa perlu laki-laki”, “tidak direndahkan”, “tidak dihakimi”. Kemudian Nana  bertanya “Bebas, seperti jaman Belanda?”.  Mendengar hal itu, Ino tersenyum dan mengajak Nana ke tepi sungai. Lantas, tanpa aba-aba,  Ino  meloncat dan menceburkan diri.  “Nana, loncatlah! Airnya segar”, serunya dari bawah.  Dan air sungai yang jernih dan tenang itu untuk kedua kalinya menjadi riak-riak dikejutkan oleh lompatan Nana. “Beginilah rasanya bebas”, kata mereka, sambal bermain air, tak jauh dari air terjun.

Mungkin, itulah perayaan sederhana tentang kebebasan kaum hawa di pertengahan 1960an, dimana mereka bisa menjadi perempuan apa saja yang mereka mau tanpa kungkungan aturan patriarkis.

Air yang tenang  dan kemudian beriak-riak karena dibebani sesuatu itu boleh jadi menggambarkan isi hati Nyai Nana, tokoh utama dalam film Before, Now & Then besutan Kamila Andini, yang baru saja dirilis di Prime Video awal Agustus.  Dalam adegan sebelumnya juga ditegaskan, kala Nana bercermin dan berkata pada dirinya sendiri: “Harus bisa seperti Air, menyesuaikan dengan sekitar”.

Film ini  diadaptasi dari   bab pertama (bertajuk Telur) di novel Jais Darga Namaku karya Ahda Imra, yang terinspirasi kisah nyata   Raden Nana Sunani, ibu dari sang novelis. Setelah Yuni, sekali lagi Kamila Andini melemparkan problematika personal seorang perempuan dalam karyanya, yang tentu tak lepas dari atmosfir sosial budaya bahkan politik di sekitarnya. Kali ini, Nana secara lahir terlihat tenang, walau berbagai petunjuk (dari mise-en-scene hingga akting yang ciamik) memperlihatkan jiwa yang bergejolak dan perlawanan halus terhadap sistem partiarki di negara yang masih berusia muda itu dan sedang mengalami masa transisi demi transisi.

Nana menjadi saksi sejarah pergolakan-pergolakan itu. Revolusi fisik menjadi revolusi sosial dan berbalut hal-hal politis dan ideologis. Di dalam dialog yang didominasi Bahasa Sunda itu-- sesekali muncul dialog berbahasa Indonesia, misalnya lewat radio—menggambarkan  jiwa zaman saat itu: trauma terhadap “Gerombolan”  (apakah ini mengarah kepada para aktivis pemberontakan DI/TII, yang memberontak sejak 1949? Tidak dijelaskan dengan gamblang) yang membantai ayahnya, melenyapkan Raden Icang suaminya, dan secara tak langsung membunuh bayinya di era 1950an—dan ancaman bahwa sang komandan akan menikahinya dan memboyongnya ke hutan. Dan juga polarisasi ideologis di awal 1960an yang berujung pada pembasmian orang-orang yang dituduh PKI tanpa pengadilan dan turunnya Presiden Sukarno dari jabatannya.

Ketegangan sekitar dan paska 30 September 1965 begitu diperlihatkan, misalnya dari bisik-bisik tentang seorang warga yang dilaporkan tetangganya dengan tuduhan keterlibatan dalam aktivitas PKI. Dunia sedang gonjang-ganjing.  Tapi film ini berfokus pada kecamuk batin seorang Nana beserta semesta kecilnya.

Film ini, berbeda misalnya dengan  Sang Penari (2011, karya Ifa Isfansyah yang juga produser film ini), dengan halus dan lembut memperlihatkan pergolakan intrinsik seorang wanita, yang tak lepas dari jiwa zamannya: Ia masih terngiang-ngiang akan masa silam, bahkan maujud dalam mimpi-mimpi buruk yang acap menyambanginya, terkait suami yang dicintainya yang dianggap diculik oleh “gerombolan”. Seperti dialog di pembukaan film ini, keresahan Nana begitu personal: takut akan sirnanya wajah dan bau tubuh suaminya yang tidak jelas nasibnya itu.

 Padahal, Nyai Nana sudah menikah lagi, dengan Darga, Kang Lurah yang ningrat dan   cukup sepuh, dan bahkan punya empat anak. Kejadian itu sudah 15 tahun berlalu. Tapi rasa bersalah, lenyapnya pria pilihannya itu,  masih saja menghantui. Tak ada hari tanpa memikirkan nasib sang suami, walau ia sudah menikah lagi dengan pria terhormat.

Sebenarnya bukan rasa bersalah saja, tapi bahwa Nana tidak bisa keluar dari perangkap sistem partiarkal. Kang Lurah, sosok pejabat desa  itu, adalah sosok yang baik dan penyabar. Dialah penyelamat Nana saat dalam pelarian menghindari “gerombolan”. Namun, tetap saja masih diselimuti dengan semangat partiarkal. Barangkali era itu, pertengahan 1960an, atmosfir patriarkis adalah hal  lumrah terjadi  di masyarakat.

Misalnya saja, urusan dapur-kasur-sumur yang mesti dilakukan oleh seorang istri, seraya ada tugas tambahan yaitu mengurusi kebun. Ratus Vagina, atau prosesi pengasapan ke organ intim perempuan, salah satu misalnya. Termasuk mengurus anak-anak dan berjalannya rumah tangga, dan tak lupa mencatok rambut sang suami.  Namun setidaknya, dia ada di wilayah ningrat yang ,makmur dan terjamin di era pancaroba politik tersebut. Tapi tentu saja hatinya jauh dari stabil.

Selain domestifikasi peran perempuan di atas, Nana juga mesti berdandan dan belajar menari, karena Kang  Lurah sering mengadakan acara yang mengundang masyarakat. Di sini, juga terlihat bagaimana para penari, yang rata-rata adalah wanita muda bertubuh sintal, menjadi primadona dalam setiap acara tersebut, walau hanya sekadar untuk hiburan biasa.

Semua hal itu dilalui Nana, yang senang merokok dan nanggap   sinden berikut perangkat   kecapi di rumahnya, dengan tenang. Walau hatinya bergejolak, dan alam bawah sadarnya, mimpi buruknya, juga acap menghantui. Itu juga mungkin yang menyebabkan dirinya beberapa kali keguguran. Rahasia yang disimpannya rapat-rapat makin menggerusnya. Saat ditanya oleh Dais, putrinya, mengapa rambutnya panjang, dan acap digelung dan disanggul, Nana menjawab: “ Setiap rahasia rumah tangga, akan disimpan di belakang rambutnya”.

.Ketenangan seolah-olah  ini juga terlihat saat ia pertama kali mengendus adalah keberadaan perempuan lain, bahkan ia bisa akrab dengannya.  Berawal dari,  perlahan tapi pasti, Nana mencari tahu dan mendapati bahwa Kang Lurah ternyata berhubungan dengan seorang wanita. Nana sendiri sudah mulai jarang dibawa ke acara publik, tanpa alasa yang jelas. Kang Lurah hanya mau ditemani Dais, putri mereka. Dan tentu penonton pun menebak, siapa yang menanti di lokasi.

Sebenarnya Ino, wanita muda yang mengajaknya menceburkan diri dalam sungai kebebasan itu,  adalah Wanita Lain, alias sang pelakor. Berbeda dengan era sekarang yang main gerebek ke pelakor, Nana tetap tenang saat berhadapan dengan Ino. Mungkin karena dia berpikir percuma juga berteriak dan memberontak di dalam sistem yang maskulin itu. Jadi, mengutip The Godfather, Nana ingin  menjadikan “saingannya” lebih dekat lagi dengan dirinya. Dan toh, dia bisa menitipkan Dais ke Ino, yang sudah dianggap sebagai keponakannya sendiri.

Ino adalah sebuah cerita nasib perempuan yang lain.  Dia dengan sengaja, makin lama semakin memperlihatkan dirinya sebagai orang kedua secara terbuka. berawal dari mengirimkan kurir untuk mengundang Kang Lurah makan siang di tempatnya. Namun kemudian dia mengirimkan daging mentah untuk Nana, sebuah isyarat ingin berkontak.  Bahkan, dalam sebuah acara, dia dengan sengaja menemui Nana dan membujuknya untuk duduk di kursi VIP, sebagai layaknya ibu pejabat dan tuan rumah.

Uniknya kedua tokoh perempuan ini  menjadi akrab, dan berpuncak pada adegan piknik dan mandi di sungai itu. Dimulai sejak mereka bertemu di pesta itu. Tapi khususnya sejak Ino menginap di rumah mereka. Mungkin karena merasa sama-sama korban keadaan dalam labirin patriarkis, maka mereka pun saling mengisi.  

Orang masa kiwari mungkin mencap Ino melakukan panjat sosial.  Dia  adalah satu-satunya tukang daging di pasar, dan tentu berbeda kelas dengan Kang Lurah yang menak.  Mungkin  agar dianggap terpelajar dan naik kelas sosial,  hingga bisa bersanding dengan  Kang Lurah, maka si Ino  si tukang daging pun rajin mengirimkan, bunga  atau  surat cinta sekadar mengundang makan siang, dengan kata-kata mesra. Dan,  sesekali,  sebuah puisi, Lewat Jendela,Taufik karya  Taufik Ismail (1960) :

Sebuah jendela meraihkan malam bagiku

Seperti beribu malam yang lain.

Ia berkiut Pada engsel waktu Ia membawa tempias.

Debu dan  cahaya bulan persegi Yang jatuh miring ke atas meja tulis.  
 

Di film ini, tidak jelas siapa yang jahat. Semuanya jauh dari hitam putih. Mungkin mereka adalah korban keadaan, korban pancaroba.

Beberapa komentar menyatakan bahwa Sebagian bahasa film yang diterapkan Kamila di film ini mengingatkan pada film-film Wong Kar-wai, khususnya In the Mood for Love (2000). Sinematografi, mise-en-scene, skor musik, gerakan kamera, adegan slow motion dan  blocking, bahkan gestur tubuh beberapa aktornya memperlihatkan hal itu (khususnya Ibnu Jamil). Bahkan seorang pengulas film di Variety menjabarkan film gabungan dari gaya Wong Kar-wai dengan  gaya penyutradaraan Apichatpong Weerasethakul.

 Namun bagi saya, tidak masalah, selama sang sutradari bisa secara audio visual menyampaikan visi misinya. Dan, bukankah In the Mood for Love  juga meminjam Bengawan Solo?

Film yang diputar perdana dan berkompetisi di Festival Film Berlinale itu mengantarkan Laura Basuki meraih piala Silver Bear.  film berdurasi 103 menit ini juga meraih Jury Prize di Festival Film Brussels.

 

Judul: Nana:


Before, Now & Then

Sutradara: Kamila Andini

Durasi: 103 Menit

Tahun: 2022

Genre: Drama Periodik

Platform: Prime Video