Saturday, February 6, 2021

Budaya Film 1980an di Surabaya yang Membentuk Saya

Saat saya TK hingga kelas 6 SD pertengahan, saya ikut orang tua menetap di Surabaya. Secara tak langsung, budaya film yang ada di sana ikut membentuk saya mencintai film.


Salah satu pengalaman pertama tertua saya   menonton di Surabaya adalah Gundala Putra Petir (1981, tapi saya nontonnya beberapa tahun kemudian)  bareng-bareng teman se-kompleks saat kelas 4 atau 5. Beberapa yang tak terlupakan adalah seri Wali Songo, seperti Sunan Kaji Jogo vs Syeikh Siti Jenar (1985).   Tentu saja, tak ada yang mengalahkan pengalaman menonton Pengkhianatan G30S/PKI (1984)  di mana semua murid SD saya wajib untuk menontonnya--bayangkan seorang anak kelas 3 atau 4 SD menonton film yang penuh darah dan penyiksaan itu! Diwajibkan, berbondong-bondong, didampingi oleh guru secara resmi.

Hal lain adalah Surabaya Post, sebuah harian sore yang selalu saya nantikan, untuk dibuka di halaman belakang, yang berisi poster film dan jadwal bioskop. Ini rutin saya tunggu tiap petang, selain menunggi tukang video keliling yang menyewakan video-video dari pintu ke pintu.  Kami bisa beli atau sewa mingguan.

Beberapa video yang saya beli (atau, tepatnya: dibelikan) adalah Gaya Merayu (1980), dan kemudian Untung Ada Saya (1982, ingat Gepeng?)  dari Srimulat. Pilihan ini tentu tak lepas dari pengalaman saya diajak nonton pertunjukan Srimulat di THR--yang sepertinya turut mengasah selera saya di genre horor, mengingat mereka sering memainkan komedi horor.

Yang menarik, saya tak sengaja menyewa sebuah film yang rupanya ada adegan seks. Ini (selain membaca komik The New Teen Titans yang ada kisah Trigon ayah Raven, judulnya seingat saya The Terror of Trigon) adalah pengalaman saya menonton adegan porn seks, dimana sang penjahat menggilir wanita-wanita. Judulnya, kalau tak salah, Shaolin vs Lama (1983). Saat saya menonton dan kebingungan, orang tua saya tiba dan kaget. Saya juga kaget, "Oh ini gak boleh ditonton anak kecil, toh?

Budaya video ini menarik, karena memungkinkan seseorang, termasuk anak kecil seperti saya, bisa merekam acara dari TV, seperti Aneka Ria Safari (termasuk adegan lawak di tengah-tengahnya, sekitar 10-15 menitan), Operet Lebaran Papiko, dan...favorit kami semua: Paguyuban Lawak di setiap hari pertama Idul Fitri! Karena itu kami hapal lagu-lagu dan dialog-dialognya. Khususnya Warkop DKI-Bagito. Dengan budaya video, saya juga bisa mekloning video lain.


Tentu saja, tidak boleh dilupakan juga adalah ritual akhir pekan (selain ke Toko Nam atau Siola) adalah ke Trio Video Tara, toko rental video yang besar di dekat Hotel Hyatt Surabaya, dimana saya juga rutin diajak ke sana. Jauh sebelum ada istilah binge-watch, saya dan keluarga sudah menonton maraton serial silat seperti trilogi Legend of Condor Heroes/Sin Tiaw Eng Hiong (Kwee Ceng-Oey Young), Return of Condor Heroes/Sin Tiaw Hiap Lu (Yoko- Bibi Liong, debutan Andy Lau kalau tak salah), dan Demigods and SemiDevils/To Liong To (Tio Buki-Tio Beng). Di bulan Ramadhan, kami bisa menghabiskan waktu dari setelah shalat Tarawih hingga menjelang Sahur.

Tak lupa seri film-film robot dan tokukatsu seperti Voltus V, Megaloman hingga God Sigma.

Itulah beberapa hal yang secara langsung tak langsug membentuk selera dan kecintaan saya akan medium sinema. Tentu saja, sepertinya ini fenomena budaya pop yang terjadi di seantero Indonesia, khususnya kota-kota besar. Tapi saya mengalaminya saat di Surabaya.

Bagaimana dengan kalian?