Monday, March 9, 2020

"Pembunuh Meniru Film Horor (?)"

Apakah sebuah karya fiksi bisa mempengaruhi seseorang untuk melakukan kriminal seperti pembunuhan atau pemerkosaan?
Tentu saja saya sangat prihatin dan bersedih dengan adanya kasus pembunuhan seorang bocah 6 tahun yang dilakukan oleh seorang gadis yang mengaku terinspirasi dari film "Chucky" dan "Slender Man".
Tapi saya tidak lantas menelan mentah-mentah bahwa film sepenuhnya bisa mempengaruhi tindakan.
Saya termasuk yang sependapat dengan Asrul Sani. Seperti yang saya pernah kutip dalam tulisan yang tautannya saya sertakan di bawah ini, Asrul dalam “Film dan Sensor Ditindjau dari sudut Kreasi”, di majalah Aneka No. 25/VIII/1957 menyatakan bahwa ia menolak mitos bahwa film berbahaya dan menjadi salah satu sumber kejahatan. Ia mensitasi hasil penelitian dari Departmental Committee on Children and the Cinema, Inggris, yang mengkaji hubungan menonton film dan tindak kejahatan. Kesimpulannya, setelah peneliti banyak anak-anak di bawah 16 tahun, film tidak terbukti mempengaruhi mereka untuk berbuat kejahatan. Lantas, mereka meneliti 130 kriminal anak, dan kesimpulannya adalah:
” Sebab-sebab dari kedjahatan mereka itu dapat dikembalikan kepada keadaan rumah tangga jang djelek, kurangnja rasa kasih sajang orang tua mereka, dan kedjadian-kedjadian dalam hidup mereka jang menimbulkan sematjam ketakutan dalam diri mereka.”
Kedua, ia mengutip laporan tahunan dari Magistrates Association Inggris, 1948, yang menyatakan hal yang sama: tidak ada hubungan antara film dan kriminalitas anak muda. Terakhir, ia juga menjabarkan pendapat Bijdendijk (Ketua Panitia Sensor di Belanda) yang disiarkan di Utrech tahun 1956. Ia berkata: “Penjelesaian sebaik2 nja dari masaalah2 jang berhubungan dengan bioskop dan film terletak dalam pendidikan dan penerangan jang baik terhadap pemuda2, dan tidak terletak dalam tangan panitia sensor. Karena itu dalam bioskop djanganlah orang dengan penuh rasa ketakutan mentjoba mendjauhkan pemuda-pemuda kita dari hal-hal jang dalam kehidupan sehari-hari jang kedjadiannja tak bisa dielakkan.”
Bagi Asrul, yang saya amini, biang keladinya bukan pada film itu sendiri, melainkan pada pendidikan dan kehidupan berumahtangga.
Intinya adalah: film--sebagaimana musik, agama, negara, olahraga--ditafsirkan sejauh mana penafsiran orang terhadapnya. Ia bisa berubah menjadi hal yang positif, menyerukan kebaikan. ia bisa diubah menjadi virus kebencian dan kejahatan. Ia bisa menjadi alat pemersatu sekaligus alat pemecah belah. Dan peran orang tua dan guru serta lingkungan juga mempengarui perspektif seseorang terhadap film (dan musik, agama, negara, olahraga).
Saya termasuk yang setuju dengan sensor dalam bentuk klasifikasi usia yang diterapkan secara ketat dan terukur. Dan ini terkait dengan peran orang tua/guru/lingkungan dalam membentuk jiwa, akhlak, dan konsep diri seseorang. Bahwa diskusi sebelum dan setelah menonton film untuk film-film yang PG (parental guidance suggested) atau BO (bimbingan orang tua), adalah penting. Ini juga terkait dengan upaya peningkatan apresiasi dan literasi terhadap film: Bagaimana melatih anak-anak sedini mungkin untuk "melek film" dan menjadi "penonton aktif", tidak lantas melarutkan gejolak perasaannya dan mencari pembenaran dalam (dan mengkambinghitamkan) sinema.
Selama masih ada anak kecil menonton Deadpool atau ada yang marah-marah karena film Warkop Reborn (yang buat remaja) menampilkan adegan yang tidak layak ditonton balita (padahal itu bukan film anak-anak), dan/atau tidak ada diskusi yang proper kepada mereka, ya....begitulah.
Tentu saja banyak orang yang tidak sepakat dengan pemikiran saya. Tidak masalah. Beda pendapat itu lumrah. Mari kita diskusi dan mencari solusi terbaik soal ini.
Saya tutup status ini dengan mengutip formula dalam "Law and Order: Special Victim Unit" yang dulu saya rajin ikuti. Dalam banyak episode selalu ada perdebatan seputar hal ini:
- Berapa banyak orang yang menonton film porno, tapi berapa persen yang berubah menjadi pemerkosa?
- Berapa banyak orang yang menonton film horor dan pembunuhan, tapi berapa yang kemudian menjadi pembunuh?
Wallahua'lam.

Tuesday, March 3, 2020

Konferensi Film Indonesia : Panel 10. Film & Sejarah II: Sejarah Film, F...

Konferensi Film Indonesia : Panel 10. Film & Sejarah II: Sejarah Film, Film Sejarah


Moderator: Dr. Budi Irawanto

Christopher Woodrich, Universitas Gadjah Mada: Ekranisasi Awal: Pengalihan Novel ke Bentuk Film di Hindia Belanda

Luqman Abdul Hakim, SMA MUhammadiyah 3 Jakarta: Sejarah Dalam Sinema: Refleksi Perkembangan Film Sejarah Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi

Dr Thomas Barker, University of Nottingham Malaysia Campus, dan Ekky Imanjaya, University of East Anglia dan Universitas Bina Nusantara: Film Eksploitasi Transnasional di Asia Tenggara: Kasus-kasus Indonesia dan Filipina

Ekky Imanjaya, University of East Anglia dan Universitas Bina Nusantara: Mengapa Orde Baru Mengekspor Film-Film Yang Sebenarnya Tak Mereka Inginkan? : Prokjatap Prosar

KULTUM Bersama Ekky & Hikmat, Episode 1: Segila Apa Elo, Soal Film? Bagi...

Pertamax: KULTUM! (Kuliah Tujuh Movies) bersama Ekky & Hikmat #kultum #kuliahtujuhmovies #ekky&hikmat
Episode 1: Segila Apa Elo, Soal Film?