Film sederhana dari Garin Nugroho (2004) itu melukiskan secara mengharukan tentang puing-puing Jakarta dan masyarakat kecilnya di sebuah pasar kampung kumuh. Jakarta yang digambarkan adalah Jakarta yang penuh masalah perumahan, urban, bagaimana masyarakat (Muslim) di sana, di saat bulan Ramadhan, mempraktikkan seni bertahan hidup. Soal spasial menyeruak dengan salah satu isu paling legendaris dalam sejarah orde baru: penggusuran. Juga kritik terhadap nilai kebersamaan dan gotong royong yang selama ini kental dalam masyarakat.
Menurut Mark Shiel, arsitektur neorealist tidak hanya menimbulkan urgensi kebutuhan praktis untuk solusi masalah perumahan, tapi juga kebutuhan psikologis untuk solidaritas (Shiel 2006: 78), dan film ini menyajikannya. Gotong royong menjadi keseharian di sana. Saat Bimo ngambek, para tetangganya. Imah membantu Rindu, anak korban gusuran, dan membawanya ke rumahnya serta memeliharanya. Para tetangga yang mau mudik menitipkan kunci (bahkan juga ayam) kepada pak guru Bagja dan Imah. Kritik pun muncul: “Saya tidak mengerti, kok membangun masjid sebesar ini saja lama benar. tapi orang-orang pada nyepuh emas. Mereka ingin tampil necis dengan kalung dan gelang sepuhan pas lebaran”.
Isu kesenjangan komunikasi juga terlihat. Sosok bisu-tuli bernama Rindu menjadi narrator, dan tokoh Sabeni yang gila mikrofon adalah tanda-tandanya. Seorang gadis, Fara, tak mampu berkomunikasi dengan baik dengan ayahnya. Sabeni tak mampu memahami anaknya yang kangen dengan sang bunda, Romlah.
Isu gender
juga bergulir. Selama kekuasaannya, Orde Baru mengukuhkan State Ibuism--istilah
yang dipakai Julia Suryakusuma yang menegaskan domestifikasi wanita Indonesia;
bahwa perempuan ideal adalah yang menerima takdir sebagai ibu dan istri
(Suryakusuma 2004: 162, 164; lihat juga Sen 1994: 138). dan Bapakisme dalam
trinitas institusi Negara-Agama-Keluarga (Brenner 1999: 32). “Wanita adalah
tiang Negara”, begitu hadis yang selalu disitir, dan karenanya tugas wanita
adalah ikut suami dan menjadi ibu rumah tangga yang baik. Proses domestifikasi
dan Iburumahtanggaisasi (housewification) yang melindungi sistem partiarkal dan
menyanjung maskulin militerisme dikonfirmasi
lewat jalur agama. Dan film ini menolaknya dengan juga idiom-idiom agamis.
Sabeni,
misalnya, melakukan kekerasan dalam rumah tangga kepada Romlah, istrinya, yang
menyebabkannya minggat. Bimo diperlakukan secara kasar oleh abangnya dan
menemukan kelembutan keibuan pada Cantik. Imah, ditinggal oleh kedua suaminya
dengan cara yang tidak bertanggungjawab. Yang menarik, wajah suami-suami Ima
dan bundanya Asih tidak pernah terlihat. Ini adalah kasus-kasus laten dan
tersembunyi akibat konsep gender Orde Baru
Konsep
partiarkal itulah yang membuat sebagian besar tokoh perempuan dalam film di
masa Orde Baru terlihat pasif dan lemah--sebagaimana ditulis Krishna Sen dalam Framing New Order. Bahkan tokoh
perempuan kala itu umumnya didefinisikan oleh tokoh protagonist pria (Sen 2008).
Tapi, kegigihan Imah dan pemberontakan Romlah membuktikan sebaliknya. Keduanya
melakukan perlawanan, di antaranya, dengan semangat keislaman.
Sebaliknya,
menurut temuan Clark Marshall, sejak Kuldesak,
tokoh pria banyak yang digambarkan sebagai karakter negatif (Marshall 2004:
124), tak terkecuali di Rindu Kami.
Sabeni, misalnya. Tetapi, dengan semangat relijius, Sabeni sadar dan selalu
membasahi tangan-tangannya dengan air wudhu--menuruti nasihat sang istri.
Sabeni
adalah tokoh yang termakan propaganda Bapakisme dan State ibuism yang
menerapkan azas kekeluargaan dan Program Kesejahteraan Keluarga (Oey-Gardiner & Bianpoen 2000: 58).. Bapak
adalah figure sentral keluarga, penguasa, dan pemimpin di rumah. Istri, ikut
suami. Dan
perkawinan adalah institusi yang menahbiskannya (Jufri
(eds.) 1992: 34). Film ini
mengkritisi kekerasan domestikdan ideology gender orde baru yang memang melemah
setelah Reformasi.
Penggusuran
dan kekerasan domestic adalah dampak luas dari dwifungsi ABRI. Dwifungsi pada
intinya adalah eufimisme dari pengawasan militer dan control atas kehidupan
nasional (Honna 2003: 3), dengan pendekatan
stabilitas dan keamanan untuk represi politik dan pengawasan idelogi (Honna 2003: 9, 88). Masyarakat sudah
terbiasa dengan kekerasan dan karenanya
menirunya.
Intinya, film ini adalah perlawanan terhadap Orde Baru, dan Islam yang menjadi alat kekuasaan Orde Baru dilawan dengan Islam juga, yang “serupa tapi tak sama”. Persis seperti judul buku Ali Syariati: Agama vs “Agama”, atau Syiah Hitam vs Syiah Merah.
No comments:
Post a Comment