Oleh Ekky Imanjaya
Mengapa, dibandingkan dengan
resensi film, masih sedikit tulisan,
baik popular berupa laporan jurnalistik dan kritik film atau karya ilmiah, yang
menganalisa sejarah bioskop/penonton, politik selera, atau mengkritisi paradoks kebijakan film Indonesia? Mungkin
salah satu jawabannya, karena pedekatan New
Cinema History (NCH) kurang popular di Indonesia.
NCH adalah istilah yang diperkenalkan
oleh Richard Maltby. Dalam buku Explorations in New Cinema History:Approaches and Case studies (2011), Maltby
menyatakan bahwa tujuan Sejarah Sinema Baru adalah untuk “mempertimbangkan (pentingnya)
sirkulasi dan konsumsi film, dan untuk menguji sinema sebagai situs pertukaran
sosial dan budaya”.
Mathijs
dan Mendik dalam bukunya The Cult FilmReader (2008), menyatakan ada dua
pendekatan kajian sinema, yang bisa juga diterapkan secara umum. Yang pertama adalah kajian teks atau
pendekatan ontologis. Kajian ini umumnya
menerapkan teori esensialis dimana sang kritikus atau peneliti berupaya untuk
mendefinisikan atau menganalisa elemen intrinsic dari film--seperti genre, gaya, sifat,
atau akurasi estetika--serta mencari topik-topik yang berulang dan memaknai
film sebagai upaya alegori, metafora, atau malah tujuan atau pesan sineasnya.
Tak jarang, teori dan konsep dari ilmu
susastra dan seni rupa mendominasi kajian ini, dan fokusnya pada estetika film.
Yang kedua adalah pendekatan
sosiologis atau fenomenologis. Kebalikan
dari yang di atas, yang ditekankan adalah unsur ekstrinsik dari film, seperti
yang dilakukan peneliti NCH. Umumnya,
pendekatannya adalah seputar penonton dan resepsi film, seperti moral panic, kontroversi dan gangguan sosial kultural dalam masyarakat saat
itu, hirarki selera, atau jaringan akses.
Ciri-ciri khas dari kajian ini
adalah upaya untuk mengambil sumber primer sebagai data-datanya--seperti berita-berita
di koran dan majalah, resensi, produk undang-undang, karya-karya
(apresiasi) penggemar. Jadi, tidak hanya mengutip dari tulisan atau pendapat
akademisi, kritikus, atau jurnalis film, apalagi main comot dari situs maya tak
jelas. Menurut James
Chapman, Mark Glancy, dan Sue Harper dalam
The New Film History: Sources,Methods, Approaches (2007)¸ NCH melakukan investigasi empiris terhadap sumber
primer yang berkaitan dengan produksi dan resepsi film yang
berfokus pada “dinamika kultural dari produksi film dan sebuah kesadaran bahwa
gaya dan konten film tergantung dari konteks produksinya”. Eric Schaeffer, penulis Bold! Daring! Shocking! True! : A History ofExploitation Films, 1919-1959 (1994),
menyebut metode ini dengan “Empirical Imperative”. Kajiannya tidak lagi memperlakukan
film sebagai teks atau salah satu cabang
kesenian atau refleksi masyarakat semata.
Dalam pendekatan New Cinema History, arsip menjadi sumber primer dalam menganalisa. Salah satu contohnya adalah seperti di atas ini. |
NCH meretas jalan untuk pengembangan cabang kajian
film lain, yang lebih kontekstual dan
berhubungan dengan masyarakat dan
hal-hal sosial budaya lainnya. Di antaranya, ekonomi politik, politik
kebudayaan, politik selera, yang bisa mencakup kajian penonton, kajian konsumsi
dan penerimaan film, kajian kebijakan film, dan budaya distribusi dan eksibisi.
Biasanya, karena kayanya data primer dari era aslinya, banyak temuan-temuan
baru yang jarang diketahui publik, kadang
mengejutkan, yang menambah bahkan, dalam beberapa kasus bertentangan dengan yang umumnya dipercaya arusutama.
Di Indonesia, walau langka, tapi
pendekatan NCH ini bukan hal baru. Yang
paling kentara adalah disertasi doktoral Tanete Pong Masak (1980-1989) yang baru
saja diterbitkan menjadi Sinema Pada Masa Sukarno (2016). Di sini, Tanete memakai berita-berita di koran, termasuk
yang paling murahan sekalipun, dan memperlakukannya sebagai data penting untuk
mencari pola dan tren sosial budaya saat itu.
Dafna Ruppin juga melakukan hal
sama saat menginvestigasi awal mula
distribusi dan eksibisi film di nusantara. Tak hanya itu, dalam disertasinya, The
Komedi Bioscoop: The emergence of movie-going in colonial Indonesia, 1896-1914 (2016), dia dengan terang-terangan
menyatakan terpengaruh Maltby.
Garin
Nugroho dan Dyna Herlina, dalam Krisis dan Paradoks Film Indonesia
(2013) juga berupaya melihat film dan bioskop sebagai fenomena sosial budaya
dan mengaitkannya dengan kejadian-kejadian besar di masing-masing era.
Dan, menariknya, arsip-arsip yang
kita temukan, seperti skenario yang belum
diterbitkan dan synopsis awal, juga memberikan analisa baru tentang dinamika
sosial politik. Ben Murtagh, misalnya. Dalam Researching in the Jakarta Film Archive, ia mengungkapkan bahwa tak jarang dokumen berbeda
dengan kenyataan, misalnya film Istana
Kecantikan (1988) tidak memasukkan
adegan perkawinan sejenis, yang tercantum dalam skenarionya. Saya juga merasakan hal yang sama saat
memeriksa sejarah Orde Baru, yang katanya penuh dengan tekanan dan sensor terhadap film-film yang penuh adegan kekerasan dan esek-esek, namun
di saat yang sama juga melahirkan banyak film-film eksploitasi bertema seks dan
kekerasan, bahkan Orba membentuk Prokjatap Prosar (1982-1983) untuk secara
resmi mengekspor film-film yang tak dianggap “film nasional” karena tidak merepresentasikan
“wajah Indonesia yang sebenarnya” atau bersifat “kultural edukatif”
Tentu ada banyak kritikus,
jurnalis, dan akademisi lain yang melakukan riset dengan pendekatan serupa. Beberapa
nama lain di antaranya, adalah Thomas
Barker, SM Ardan, Misbach Jusa Biran, dan, tentu saja Krishna Sen.
Walau demikian, masih sedikit
karya, baik popular mau pun akademis, yang melakukan pendekatan sejarah baru
ini, khususnya di bidang reception
studies, fandom dan consumption
studies. Semoga makin banyak yang menganalisa sejarah film dengan
pendekatan semacam ini, dan memberikan kebaruan serta memperkaya teori dan
kajian yang sudah ada.
Tulisan versi editnya dimuat di buku acara Usmar Ismail Awards 2017 (April 2017).
Sumber arsip: Perpustakaan KITLV, Leiden, 2008.
Sumber arsip: Perpustakaan KITLV, Leiden, 2008.