SUNGGUH KETERLALUAN!
Mengutip film “Badut-Badut
Kota”: Sungguh Keterlaluan buku “Sinema Pada Masa Sukarno”, Pak Tanete, Mas
Seno, dan segala diskusinya. Sungguh keterlaluan, mengapa buku ini baru beredar
sekarang, di tengah-tengah saya sedang dalam tahap akhir penulisan tesis saya.
Kenapa tidak dari dulu-dulu?
- Melihat dari diskusi itu, saya melihat bahwa salah satu sumbangan terbesar buku ini adalah dalam hal metodologi dan metode penelitian. Sumber primer dari mana saja, termasuk koran kuning. “tidak ada hirarki teks”, kata mas Seno. Dan penelitiannya berfokus pada konteks, bukan lagi pada teks atau estetika film.Saya harus meraba-raba dari mana mulai, saat awal-awal riset dimulai. Akhirnya saya menemukan istilah “New Cinema History” yang mengupas film dari sisi ekstrinsik, bukan intrinsik. Misalnya, dibahas di buku Maltby (2011). Intinya, pendekatan semacam ini mempertimbangkan sirkulasi dan konsumsi dan untuk menelaah sinema sebagai situs sosial dan pertukaran budaya.Buku lainnya ditulis oleh James Chapman, Mark Glancy, and Sue Harper, berjudul The New Film History: Sources, Methods, Approaches. Yaitu, investigasi empiris yang menganalisa sumber primer yang dikaitkan dengan produksi dan resepsi film.INTINYA, bagaimana film dibentuk oleh kombinasi dari proses sejarah.Eric Schaefer, misalnya, dalam Daring! Shocking! True! A History of Exploitation Films, 1919-1959, mnenyatakan metodenya sebagai “Empirical Imperative”.
Sebelumnya, ada juga Thomas Elsaesser dkk yang mulai
membuat metode ini ngetren.
Kini, sudah ada beberapa penelitian
dengan pendekatan seperti ini, sebenarnya. Nah, mengapa bukunya pak Tanete
penting: Karena (1) ini ditulis 47 tahun lalu, sebelum gerakan ini terkenal, (2) dan
tentang film Indonesia, (3) dan konteksnya adalah saat elit budaya sedang
giat-giatnya menghegemoni dengan bingkaian konsep “film nasional” versi mereka, (4) dan kajiannya
(akademis, popular, jurnalistik) didominasi oleh estetika atau sisi intrinsik film.
Saya sendiri, sedang meneliti “Film
di Jaman Suharto”, dengan amatan khusus ke film-film eksploitasi/B. saya juga memakai majalah, koran, buku acara,
dll. Dan sedikit banyak, analisa saya melawan arus pemikiran para elit budaya--para
pemikir yang karya-karyanya saya baca dan gemari.
Ini selaras dengan semangat akademis di kampus saya, University of East
Anglia, yang menekankan kajian arsip dan juga kajian kepenggemaran dan
kepenontonan (politik budaya, ekonomi budaya, dll) selain kajian film-B.
Tapi, buku itu ditulis 47 tahun
lalu, oleh akademisi Indonesia dan
mengambil kasus Indonesia. Sungguh keterlaluan, mengapa buku ini baru terbit sekarang? :)
Jadi, saya kira buku ini sangat relevan dan menjadi pemicu semangat saya. Nah masalah kedua:
2 Hasil
akhir buku Pak Tanete, menurut Mas Seno, adalah mengalir lancar dan penting. Juga mengungkap hal-hal baru yang belum dikenal atau melawan pengetahuan umum tentang film. Saya jadi merenung, bagaimana dengan karya saya? Apakah penelitan saya nantinya akan sepenting
ini, dan dampak/manfaatnya bisa seluas itu? Riset saya memang belum selesai,
tapi semoga bisa menyumbangkan sesuatu bagi kebijakan publik, kajian film dan
sejarah, dan kajian film dan budaya/media pada umumnya. Jadi, saya kira buku ini sangat relevan dan menjadi pemicu semangat saya. Nah masalah kedua:
https://www.youtube.com/watch?v=30EL5AH5-EI&feature=youtu.be
No comments:
Post a Comment