isakah film mempengaruhi moral masyarakat? Inilah pendapat dua tokoh film nasional: Usmar Ismail dan Asrul Sani
ISU sensor marak kembali. Yang paling terasa adalah dicekalnya film Noah di berbagai Negara, termasuk di Qatar, Bahrain, dan Indonesia. Keberatan atas isi film yang idenya diadaptasi dari kisah Nabi Nuh itu datang, di antaranya, dari Universitas Al-Azhar Mesir, National Media Center Uni Emirat Arab, bahkan beberapa kelompok Kristen di bebeberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Dan hampir bersamaan dengan itu, The Raid 2 dilarang pula di Malaysia. Ada yang bilang karena kekerasan yang terkandung di dalamnya, ada yang bisik-bisik itu karena ada representasi karakter polisi yang korup. Yang menarik, saat memperingati Hari Film Nasional baru-baru ini, Ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) Firman Bintang, menyatakan bahwa film ini berpotensi mencoreng budaya bangsa karena banyak adegan kekerasan. Produser film Ada Apa dengan Pocong (2011) dan Bukan Pocong Biasa (211) itu menyatakan bahwa adegan penuh darah itu ditakutkan akan membuat pergeseran persepsi terhadap bangsa Indonesia di dunia internasional: yang tadinya dianggap ramah menjadi beringasan. (Liputan6, 1 April 2004). Untuk yang terakhir, temanya agak nyambung dengan tulisan saya soal film, kenyataan, dan representasi, yang bisa dibaca di: http://m.islamindonesia.co.id/detail/1119-Film-Kenyataan-dan-Representasi.
Mumpung masih dalam suasana Hari Film Nasional, mari kita tengok ke belakang dan melihat bagaimana dua tokoh besar perfilman Indonesia, Usmar Ismail dan Asrul Sani, melihat tentang sensor, baik sensor Negara atau sensor sosial.
Asrul Sani menulis “Film dan Sensor Ditindjau dari sudut Kreasi”, di majalah Aneka No. 25/VIII/1957. Ia menyoroti sensor negara, dan mengkritik pandangan umum yang beredar tentang film yang berbahaya dan menginspirasi orang berbuat kejahatan. Bagi Asrul, sensor berpotensi untuk menghambat kemerdekaan sineas berkreasi, sehingga akan menumpulkan ide-ide yang terepresentasi dalam karya-karyanya. Ia menulis:
" Dapatkah para seniman film secara leluasa memberikan kepada kita berbagai horizon
baru dari pengalaman mereka. Dapatkah seniman film kita melakukan fungsinja sebagai “sanubari dari masjarakat dan zaman”? Dapatkah hal-hal baru diperlihatkan? Dapatkah diprotes dengan merdeka kebobrokan-kebobrokan jang terdapat dalam masjarakat ? Tidak ! pada film tidak diiberikan kebebasan seperti diberikan kepada seni-seni lain. Toh film adalah suatu medium dan alat komunikasi terbaik untuk melakukan itu."
Asrul menggarisbawahi kondisi masyarkat yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpercayaan kepada segi-segi kebaikan manusia. Penyakit ini, untungnya, bagi Asrul, tak hinggap di masyarakat pada umumnya. Benarkah film itu berbahaya dan menjadi salah satu pangkal bala kejahatan? Asrul meyatakan bahwa ini adalah mitos dan menolaknya dengan mengemukakan beberapa hasil riset dari luar negeri. Misalnya, ia mengutip hasil penelitian dari Departmental Committee on Children and the Cinema, Inggris, yang mengkaji hubungan menonton film dan tindak kejahatan. Kesimpulannya, setelah peneliti banyak anak-anak di bawah 16 tahun, film tidak terbukti mempengaruhi mereka untuk berbuat kejahatan. Lantas, mereka meneliti 130 kriminal anak, dan kesimpulannya adalah:
" Sebab-sebab dari kedjahatan mereka itu dapat dikembalikan kepada keadaan rumah tangga jang djelek, kurangnja rasa kasih sajang orang tua mereka, dan kedjadian-kedjadian dalam hidup mereka jang menimbulkan sematjam ketakutan dalam diri mereka."
Kedua, ia mengutip laporan tahunan dari Magistrates Association Inggris, 1948, yang menyatakan hal yang sama: tidak ada hubungan antara film dan kriminalitas anak muda. Terakhir, ia juga menjabarkan pendapat Bijdendijk (Ketua Panitia Sensor di Belanda) yang disiarkan di Utrech tahun 1956. Ia berkata: “Penjelesaian sebaik2 nja dari masaalah2 jang berhubungan dengan bioskop dan film terletak dalam pendidikan dan penerangan jang baik terhadap pemuda2, dan tidak terletak dalam tangan panitia sensor. Karena itu dalam bioskop djanganlah orang dengan penuh rasa ketakutan mentjoba mendjauhkan pemuda-pemuda kita dari hal-hal jang dalam kehidupan sehari-hari jang kedjadiannja tak bisa dielakkan."
Asrul pun mengambil konklusi: bahwa lembaga sensor itu punya keterbatasan, dan tidak efektif dalam mencegah kejahatan dan memperbaiki masyarakat. Masalahnya bukan karena pencekalannya kurang keras, tapi sensor, menurut Asrul, tidak kuasa mencegahnya, mengingat biang keladinya bukan pada film itu sendiri, melainkan pada pendidikan dan kehidupan berumahtangga.
Soal penyakit takut dari masyarakat, Usmar Ismail menulis Sensur Film Djanganlah Merupakan Polisi Susila : masjarakat sekarang takut melihat bajangannja sendiri di News Star III No. XII , 1955. Dari judulnya saja kita sudah bisa meraba arah pembicaraan
Usmar sendiri punya masalah dengan sensor. Tahun 1953, film yang ia produseri, Terimalah Laguku (sutradara Djajakusuma), dipotong bagian-bagian pentingnya oleh—kala itu masih bernama—Panitya Pengawas Film, sehingga agak mengganggu substansi cerita. Salah satunya, adalah adegan seorang suami menjewer telinga istrinya yang terlalu serius mendengarkan seorang penyanyi asing di televisi.
Usmar beberapa kali menulis analisa seputar sensor. Salah satunya adalah “Pembatasan-Pembatasan Pembuatan Film di Indonesia” yang dimuat di majalah GELANGGANG Sastera, Seni dan Pemikiran, Edisi Desember 1966 No. 1 Thn. I. Di sini, Usmar lebih menyoroti sensor dari masyarakat, yang tak kalah sengitnya dengan lembaga negara. Usmar bercerita bahwa film yang acap dianggap menjadi tonggak Hari Film Nasional, Darah dan Doa alias The Long March, mendapat tekanan dan ketidakpuasan dari berbagai pihak. Pertama, tentu saja sensor resmi negara, yang memotong adegan pertempuran yang dianggap “terlalu realistis”, hal yang dibantah Usmar dengan pernyatan “yang sebenarnya dengan ukuran sekarang sangat jinak!”. Setelah film produksi perdana Perfini itu tayang, protes berdatangan dari masyarakat. Yang paling terlihat dari pihak TNI/AD dari berbagai daerah, yang kecewa dengan penggambaran tentara yang “...terlalu human dan lemah (menurut ukuran mereka)”. Belum lagi urusan kisah asmara sang prajurit dengan seorang gadis Eropa. Protes berikutnya datang dari pihak yang tak setuju dengan penggambaran aktivitas Darul Islam, karena takut menjadi inspirasi kebangkitan jihad sebagian kelompok umat Islam. Terakhir, PKI juga tak puas karena penggambaran kaum komunis yang fanatik dan pembalas dendam. Walhasil, film kedua Perfini, Enam Djam di Jogja, Usmar dan kawan-kawan harus putar otak untuk menghindari upaya sensor dari masyarakat. Karena tak mau ada yang tersinggung lagi, ia menjadi film yang “...manis-legit (zoet-sappig)”. Kata Usmar:
" Dijaga sekali jangan ada yang merasa tersinggung , orang-orang jahat hanyalah orang-orang Belanda saja, orang-orang Indonesia semuanya baik-baik dan kalau dia suatu waktu menjadi pengkhianat, maka tabu untuk menyebutkan soal golongannya. Tidaklah mengherankan, bahwa sesudah itu film-film Indonesia, makin menjauh dari menceritakan hal-hal yang benar-benar menyangkut kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia seperti adanya."
Dan karena itulah, tegas Usmar, kenapa film-film Indonesia tidak menarik, tidak seperti umumnya film Amerika dan Eropa. Karena tujuan akhirnya ” ...bukanlah lagi bagaimana dapat membuat film yang baik dan bermutu, tetapi bagaimana dapat mengelus-elus selera penonton yang banyak mintanya itu”. Bukan lagi ”politik sebagai panglima” yang menjadi pengarah para produser (tulisan ini dibuat setahun setelah prahara 1965), namun penontonlah yang sudah menjadi ”...maharaja-diraja yang disembah dan dijunjungnya di atas kepalanya”.
Sensor kultural, politik, dan sosial dari berbagai kalangan masyarakat, berikut berbagai kepentingannya, dianggap menjadi hambatan. Dan, olala, pernyataan ini masih relevan hingga sekarang karena kasus-kasus sensor dari luar lembaga resmi ini yang justru marak pasca reformasi.
Usmar pun memakai istilah “cari jalan aman”, dan kalau pun harus berani, biasanya karena pertimbangan komersil, seperti “...memperlihatkan sedikit paha Sri Rejeki di dalam film “Madju tak gentar”!” karya Turino Djunaidi tahun 1965. Untuk menghindari hal ini, Usmar menyatakan, biasanya filmmaker membatasi ambisinya dan membuat ”,..film-film kecil”.
Tapi, dalam tulisan yang sama, Usmar juga menggarisbawahi bahwa, sebagai seorang yang jujur kepada dirinya, sang sineas harus mengakui bahwa manusia tidak bisa bebas sebebas-bebasnya, dan harus memperhitungkan banyak faktor yang ada di luar kuasanya, termasuk norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Ia harus bijak melakukan banyak pertimbangan dan refleksi.
Terakhir, yang patut diingat, keduanya adalah pimpinan Lesbumi, sebuah organisasi kebudayaan Muslim yang berdiri sejak 1962 (http://m.islamindonesia.co.id/detail/1184-Lesbumi-Jembatan-Ulama-Seniman).
linknya yang bisa dibuka: http://islamindonesia.id/budaya/sensor-dalam-film-2.htm
ReplyDelete