Wednesday, October 15, 2025

Putu Wijaya Sebagai Sutradara Film: Ulasan "Cas Cis Cus" dan "Plong”

Oleh Ekky Imanjaya (Dosen jurusan Film, Binus University)

Putu Wijaya sebagai Sineas?


Sebagai maestro di bidang sastra, teater, dan jurnalistik, nama Putu Wijaya sudah dikenal  luas. Sebagai penulis, dramawan, dan aktor, Putu telah menghasilkan karya-karya yang memukau dan memprovokasi pemikiran pembaca dan penonton teaternya. Acap ia memberi  judul yang singkat dan absurd: Aduh, Tai, Dag-Dig-Dug, Aib. Sebagai penulis, ia juga  menulis naskah skenario film, dan tiga kali meraih  Piala Citra di Festival Film Indonesia  (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985) dan Ramadhan dan Ramona (1992).  Tapi, sebagai sutradara film?


Meskipun telah menyutradarai tiga film panjang,--Cas Cis Cus (Sonata di Tengah Kota) (1989), Plong (Naik Daun) dan Zig Zag (Anak Jalanan) (keduanya di 1991), tak banyak  yang mengulas Putu sebagai sutradara film. Tulisan ini akan mengulas dua dari tiga film  tersebut, menggali bagaimana Putu Wijaya membawa ciri khasnya sebagai seniman multitalenta ke dalam medium film, terutama melalui konsep " teror mental"   yang menjadi  ciri khas karya-karyanya. Cas Cis Cus dan Plong dinominasikan sebagai Skenario dan  Sutradara Terbaik, FFI 1990 dan 1992. Ulasan ini juga berdasarkan Pameran Maestro dari Komite Film Dewan Kesenian Jakarta yang bertujuan ”menemukan kembali” maestro yang jarang dibahas,27-29 November 2024 lalu.

Kedua film Putu tersebut merupakan perpanjangan dari karya-karya sastra dan teaternya yang  telah dikenal luas. Ciri khasnya yang paling menonjol adalah kemampuannya untuk  “menteror batin” penonton, mempertanyakan hal-hal yang sudah mapan, namun tanpa menggunakan kekerasan fisik. Drama yang ia hadirkan seringkali dibalut dengan nuansa  komedi yang agak meneror, terkadang terasa absurd atau surealis. Konsep " teror mental ini,  menurut Putu Wijaya dalam wawancara dengan Telusur, adalah upaya untuk menggugah kesadaran penonton dengan cara yang tidak biasa. Teror mental adalah  cara untuk  mengguncang kesadaran, memaksa orang untuk berpikir ulang tentang hal-hal yang selama ini dianggap biasa dan normal. Dengan begitu,penonton akan ”dipaksa” melihat dengan  sudut panjang yang berbeda. Inilah ciri khasnya, yang ia juga bawa ke kedua filmnya itu.

Misalnya, dalam Cas Cis Cus, Putu Wijaya menghadirkan premis yang mengejutkan: seorang  nenek yang ingin menonton film porno dan bahkan ingin menikah—dengan tukang pijat tuna netra! Premis ini, yang mungkin terdengar aneh bagi sebagian orang, justru menjadi daya tarik utama film ini. Bahkan dari judulnya saja, Cas Cis Cus sudah terasa absurd, sehingga Putu terpaksa menambahkan subjudul Sonata di Tengah Kota sebagai kompromi dengan produser agar filmnya lebih mudah diterima pasar. Ini menunjukkan bagaimana Putu berusaha mempertahankan keunikan karyanya sambil tetap beradaptasi dengan tuntutan  industri. Melalui premis yang tidak biasa ini, Putu berhasil menciptakan teror mental, memaksa penonton untuk mempertanyakan norma-norma sosial yang selama ini dianggap wajar.

Sementara itu, dalam Plong, Putu mengangkat kisah seorang tukang kuda yang tiba-tiba  diangkat menjadi direktur perusahaan besar oleh sang bos. Kenaikan jabatan ini kemudian menimbulkan konflik dengan “oligarki” di dalam perusahaan. Film ini masih relevan hingga  hari ini, terutama dalam konteks membahas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang  masih menjadi masalah besar di Indonesia. Melalui Plong, Putu berhasil menyoroti praktik- praktik korup yang sering kali diabaikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga, seperti disitir oleh Jose Rizal Manua di Borobudur Writers, sebagaimana di karya-karya sastra dan teaternya, teror mentalnya tidak hanya mengguncang kesadaran individu, tetapi juga menggugah sistem yang telah mapan. Apalagi film itu diedarkan di era Orba sedang kuat-kuatnya.


Film Sufi dan Metafora Bayangan serta Cermin

Meskipun dikenal sebagai cerpenis dan dramawan, Putu Wijaya sebagai sutradara film juga menunjukkan keahliannya dalam bermain dengan bahasa audio visual. Selain narasi yang kuat dan meneror, ia juga menggunakan elemen visual untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan.  isalnya, dalam Cas Cis Cus, terdapat adegan kucing yang terlihat di bawah cahaya rembulan di awal film. Adegan ini, meski terkesan sederhana, memiliki makna simbolis yang dalam dan multitafsir.  Selain itu, Putu juga sering menggunakan bayangan dancermin sebagai metafora, seperti bayangan di genangan air atau refleksi di cermin. Refleksi- refleksi ini mengingatkan pada ciri khas film Sufi, yang juga terlihat dalam karya-karya Mohsen Makhmalbaf seperti The Silence.


Dalam konteks film Sufi, penggunaan bayangan dan cermin seringkali dimaknai sebagai simbol dari pencarian diri dan spiritualitas, serta menggambarkan perjalanan batin karakter.

Menurut situs Film Sufi, "...bayangan dan cermin adalah metafora untuk refleksi diri, di mana karakter harus melihat dirinya sendiri untuk menemukan kebenaran yang lebih dalam".

Dalam The Silence, Makhmalbaf menggunakan elemen visual seperti cermin dan bayangan untuk menggambarkan perjalanan spiritual karakter utama. Hal ini mirip dengan apa yang dilakukan Putu Wijaya dalam Cas Cis Cus, di mana bayangan di kolam atau genangan air serta cermin menjadi alat untuk mempertanyakan realitas dan identitas.


Simbol dan Hal-Hal (yang Nampak) Kecil yang Signifikan

Ciri khas lainnya adalah kebermainan dalam hal-hal yang sekilas tampaknya bukan yang utama. Namun hal-hal kecil dan minor ini justru memperkuat cerita dan penceritaan. Selain kucing di dalam Rembulan, seperti dibahas di atas, adalah juga soal visual yang mungkin dianggap B-roll saja tapi penting.

Misalnya, dalam Plong, Putu menggunakan elemen visual seperti capung dan padang rumput yang luas. Apakah ini metafora untuk menunjukkan sesuatu anomali yang kecil di tengah lahan korupsi yang luas? Pertanyaan ini mengundang penonton untuk berpikir lebih dalam tentang makna di balik setiap adegan. Selain itu, celetukan-celetukan kecil dan peran-peran pendukung juga menjadi penambah kekayaan narasi. Misalnya, latihan telepon atau adegan ketemu bule yang bisa berbicara bahasa Jawa, memberikan sentuhan humor yang khas Putu Wijaya.

Kedua, karakter-karakter yang seolah dapat peran kecil, namun memperkuat identitas kedua  film tersebut. Keduanya memiliki kesamaan dalam hal peran Deddy Mizwar yang walau tidak banyak namun ikonik. Dalam Cas Cis Cus, Deddy memerankan seorang bencong yang juga pengamen dangdut. Sementara dalam Plong, ia berperan sebagai konglomerat nyentrik yang punya jalan pikiran tak lazim. Peran-peran ini menunjukkan fleksibilitas Deddy sebagai aktor dan bagaimana Putu Wijaya mampu memanfaatkan bakatnya secara maksimal. Selain itu, Tarida Gloria dalam Plong juga memberikan penampilan yang apik, mungkin yang terbaik dalam karier filmnya. Perannya tidak lagi sekadar sebagai pelengkap penderita atau comic relief, melainkan memiliki kedalaman yang jarang terlihat dalam film-film Indonesia saat itu.


Elemen lainnya yang acap dianggap minor namun mampu menciptakan atmosfer yang meneror dan menggugat arus utama adalah musik. Dalam Cas Cis Cus, Harry Roesli menggarap musik score yang menambah dimensi emosional film. Sementara itu, dalam Plong, tembang dolanan Jawa seperti Cublak Suweng dan Lelo Ledung memberikan sentuhan tradisional yang kaya akan makna.

Kedua film ini lahir di era 1980-an, di mana banyak filmmaker Indonesia juga merupakan orang teater yang terkait erat dengan padepokan teater seperti Bengkel Teater Rendra, Teater Popular, dan Teater Kecil. Konteks ini penting untuk dipahami karena menunjukkan bagaimana dunia teater dan sinema Indonesia saling memengaruhi. Putu Wijaya, sebagai  bagian dari komunitas ini, berhasil membawa semangat Teater Mandiri—dan pendekatan ”teror mental”-nya-- ke dalam medium film, menciptakan karya yang tidak hanya menghibur tetapi juga memprovokasi pemikiran. Sesuai dengan pandangannya terkait seni secara umum, yaitu ”teror mental” sebagai ”...cara untuk membuat orang berpikir, bukan hanya menonton".


Dengan demikian, Cas Cis Cus dan Plong bukan sekadar film biasa. Mereka adalah cerminan dari visi artistik Putu Wijaya yang selalu berusaha meneror batin penonton, mempertanyakan  hal-hal yang sudah mapan, dan menawarkan perspektif yang unik. Melalui kedua film ini, Putu Wijaya membuktikan bahwa ia bukan hanya seorang seniman multitalenta, tetapi juga sutradara film yang seharusnya layak diperhitungkan dalam sejarah sinema Indonesia.  

No comments:

Post a Comment