Wednesday, November 28, 2018

See you at Jogja NETPAC Asian Film Festival, 1-4 December!

I will be in Jogjakarta for Jogja NETPAC Asian Film Festival, 1-4 December 2018.

First, I am so honored to become one of the panelists at Classic Asian Films with great people:  Monday, 2 December 2018. I will share my experiences and knowledge on finding film archives and accessing classic films.
Second, I will be the moderator at Focus on Garin Nugroho; Mon, 3 December.



All Public Lecture events will start at 10.00 am at PENDOPO AJIYASA Jogja National Museum.
See you there!

Monday, November 5, 2018

"Bohemian Rhapsody" dan Sinema yang Magis

Demam film “Bohemian Rhapsody” melanda Indonesia. Para kritikus film pun mempertanyakan soal akurasi faktual (seperti perpecahan sebelum Live Aid, atau pengumuman Freddy Mercury kena Aids).
Menurutku, akurasi (khususnya yang terkait dengan cerita) tak terlalu penting di untuk konteks film ini. Memang cerita agak lemah. Tapi ini film fiksi dan ini bukan karya ilmiah. Dan film BUKANlah Realitas, dan tidak ada kewajiban untuk plek2an seperti realitas. Film adalah representasi, bukan gambaran realitas. Skenarionya pun sudah di-acc kedua anggota Queen lainnya.
Ysng jauh lebih penting adalah bagaimana film ini melibatkan penontonnya. Mereka bernyanyi (sing along), bertepuk tangan (di bioskop sekelas plaza senayan!), ikut terharu, tersihir oleh kekuatan magis sinema. Berapa banyak film yang mampu melakukannya?
Tak hanya itu, mereka membahasnya di media sosial. Dan menontonnya berkali-kali. Ini adalah contoh media cult: dirayakan, ditonton berulang-ulang, secara “militan”. Tentu yang cult adalah Queen, Freddy, dan lagu-lagunya. Apakah filmnya akan berstatus cult, hanya waktu yang dpt menjawabnya.
Kembali ke soal cerita yang “ banyak yang tidak akuratnya”: sutradara, penulis skenario, dan para produser (termasuk 2 anggota Queen) memilih dan memilah mana yg masuk dan yg tidak, juga soal sudut pandang dan penonjolan tema tertentu. Dan itu sah2 saja.
Tentu saya kecewa gak ada bicycle ride dan flash gordon, misalnya. Atau kurang dalamnya soal Freddy yg adalah “Great Pretender” (ada di salah satu dokumenternya). Tapi itu pilihan, mau mengambil “realitas” yg mana?
Bahkan dalam dokumenter pun, terjadi pemilihan dan pemilihan sudut pandang, tema, dll. Tidak ada yg benar2 akurat dalam konteks “menggambarkan kenyataan yg sebenarnya”.
Saya memilih untuk merayakan film ini dan menikmatinya, ikut terseret peduli dengan seorang anak yg misfits, minoritas dan sering dibully (imigran, non-putih, tonggos, gay, penderita AIDS), yang acap kesepian, tapi jenius dalam bermusik. Dan dicintai jutaan penggemarnya.
(Malek, dalam satu wawancara, pernah menyatakan betapa kesepiannya Freddy, yang tercermin dalam lirik-lirik lagu yang ia ciptakan. )
Saya bersama para penonton yang memilih untuk terpukau dan tersihir dengan film ini. Karena..it’s a kind of magic.