Saturday, December 12, 2020

Banyak Ayam, Banyak Rezeki: Surreal Comedy + Mockumentary + The Other Side of Madani


Film Banyak Ayam Banyak Rezeki (Riboet Akbar dan Önar Önarsson, 2020)  adalah sebuah film yang jenaka cenderung sarkas, kritis, nakal, subversif, dan mungkin paling berani dalam mengungkapkan isu islam dan gender setelah Para Perintis Kemerdekaan (Asrul Sani, 1977).

Tidak hanya itu, film berdurasi 101 menit ini  menyajikan sebuah hibrid baru bagi genre film di Indonesia, yang sebenarnya cocok untuk mengkrisi isu-isu sensitif. ia adalah campuran antara dark comedy yang bahkan mengarah ke surreal comedy nan absurd ala Monty Python, dengan mockumentary (seolah-olah dokumenter) model Borat. Dan tentu ada banyak referensi yang terlihat di sana sini saat menontonnya, tapi saya akan fokus pada dua hal ini. 

Sependek pengetahuan saya, tidak banyak film Indonesia yang bergenre mockumentary (selain Keramat, apa ya?) dan surreal comedy (mungkin Matt Dower karya Nyak Abbas Akub, yang sayangnya saya hanya lihat cuplikan-cuplikan pendeknya dari koleksi Pak David Hanan). Dan film ini adalah gabungan keduanya. Plus, karena mengangkat isu-isu yang erat dengan masyarakat muslim, kali ini dengan sisi lain dari umat Islam negeri ini, film ini juga saya anggap sebagai gambaran dari The Other Side of Madani Film. Sintesisnya membuat film ini menjadi one of a kind, unik.

Bagi kalangan tertentu, film ini bisa dianggap terlalu berani, subversif dan malah blasphemy. Tapi bagi yang berpikiran terbuka dan punya selera humor yang tinggi, maka akan disadari bahwa ini adalah penggambaran absurd yang cerdas dan dalam tentang sebuah fenomena dalam masyarakat: Poligami.

Ya, Poligami. Tapi sangat berbeda dengan film-film poligami yang pernah ada. Selain dari cerita dan cara bertutur yang unik seperti dibahas di atas (yang sebaiknya disaksikan sendiri), film ini berkisah juga tentang klenik, kejawaan, dan menyinggung fenomena profesi "motivator". Inilah kisah sukses Arjun, seorang guru yang beralih menjadi pengusaha ayam goreng, Kaliurang Fried Chicken alias KFC, yang, menurut klaimnya,  menjadi berhasil justru karena melakukan poligami. Tak hanya itu, Arjun yang menjadi selebriti itu pun mengangkat dirinya menjadi sumber inspirasi dan membuat acara "Poligami Award". 

Olok-olok juga terlihat saat kita dengan sadar dibenturkan dengan dua hal yang ironis (misalnya, sang guru spritual yang awalnya memberikan nasihat untuk nambah istri, malah ikuti jejak Arjun berdagang KFC), atau dengan terang-terangan menyandingkan antara Kaliurang dan sumber aslinya (Kentucy) yang sama-sama disingkat KFC, dan tentu dengan simbol dan ikon Jawa dan Islam (lukisan Nyai Roro Kidul, berjilbab tapi berpakaian seksi, radio "merek" Islam, "Republik Toa" yang punya volume hingga 11 seperti di klip video Black and White). Juga perbenturan   ideologi (mengganti nama Poligami Award dengan Feminis Award). Termasuk antara adengan dengan lagu (saat ada adegan yang memperlihatkan Arjun melakukan hal tak etis dengan lagu berlirik tentang pemimpin sebagai panutan).

Film ini sebaiknya ditonton langsung, masih bisa disaksikan di Festival Film Dokumenter secara gratis hingga 14 Desember di tautan ini.

Sekadar trivia:  Ini adalah film kedua yang saya tonton tahun ini yang punya adegan yang memperdengarkan suara adzannya, setelah  Flowers and Butterfly (film Thailand penutup Madani Film Festival tahun ini). Dan banyak sekali lagu-lagu lawas yang bertebaran di sini. 

Oh,ya, bagi para akademisi film, silahkan perhatikan cameo-cameo yang ada di sini. 

Trailer:

 


Sunday, December 6, 2020

Catatan FFI di Tahun Pandemi

Selamat kepada seluruh pemenang Festival Film Indonesia 2020!

Khususnya kepada Joko Anwar dan "Perempuan Tanah Jahanam" yang meraih 6 Piala Citra, termasuk Sutradara Terbaik dan Film Terbaik.

Catatan saya seputar FFI di kala pandemi:
1. Setuju dengan Joko Anwar dkk yang mengatakan penyelenggaraan FFI kali ini luar biasa, khususnya di kala pandemi tapi masih bisa menghadirkan acara penganugerahan yang bersahaja tapi khikmat dan meriah.
2. Akhirnya film horor menjadi film terbaik FFI, setelah 2 tahun sebelumnya masuk nominasi ("Pengabdi Setan"). Hal yang tak terbayangkan di era Orde Baru dengan bingkai ideologi "Kultural Edukatif" dalam "Film Nasional" versi mereka.
Kurang lebih sepakat dengan mbak Shanty Harmayn saat pidato kemenangan. Janganlah kita merendahkan genre apapun, karena pada akhirnya orang-orang kreatif di balik pembuatannyalah yang menentukan sebuah film bermutu atau tidak. Ingat, banyak sutradara besar membesut film bergenre popular, termasuk horor: Kubrick, Scorsese, Coppola, dll.
Jangan lupa, di FFI 2020 ada "Ratu Ilmu Hitam" (2 Citra dari 6 nominasi) dan "MangkuJiwa" (2 nominasi)
3. Pandemi membuat panitia FFI juga mempertimbangkan film-film yang belum tayang di bioskop: "Mudik", "Guru-Guru Gokil", dll. Sayang "Bidadari Mencari Sayap" tidak ikutan.
Ini menunjukkan bahwa bioskop bukan lagi satu-satunya tolok ukur dan barometer di jalur distribusi/eksibisi, dan mempertimbangkan jalur distribusi dan eksibisi alternatif. Yang penting: filmnya telah bertemu dengan penontonnya.
4. Senafas dengan no 3, jangan lupakan film-film nominee yang bukan dari jalur arusutama: "The Science of Fictions", "Mountain Song", dan "Humba Dreams".
Semoga film Indonesia cepat bangkit kembali!