Wednesday, May 24, 2017

" New Cinema History" dan Kajian Film Indonesia

Oleh Ekky Imanjaya
Mengapa, dibandingkan dengan resensi film,  masih sedikit tulisan, baik popular berupa laporan jurnalistik dan kritik film atau karya ilmiah, yang menganalisa sejarah bioskop/penonton, politik selera, atau mengkritisi  paradoks kebijakan film Indonesia? Mungkin salah satu jawabannya, karena pedekatan New Cinema History (NCH) kurang popular di Indonesia.

NCH adalah istilah yang diperkenalkan oleh Richard  Maltby. Dalam buku Explorations in New Cinema History:Approaches and Case studies (2011),  Maltby menyatakan bahwa tujuan Sejarah Sinema Baru adalah untuk “mempertimbangkan (pentingnya) sirkulasi dan konsumsi film, dan untuk menguji sinema sebagai situs pertukaran sosial dan budaya”. 

Mathijs dan Mendik dalam bukunya The Cult FilmReader (2008),  menyatakan ada dua pendekatan kajian sinema, yang bisa juga diterapkan secara umum.  Yang pertama adalah kajian teks atau pendekatan ontologis.  Kajian ini umumnya menerapkan teori esensialis dimana sang kritikus atau peneliti berupaya untuk mendefinisikan atau menganalisa elemen intrinsic dari film--seperti genre,   gaya,  sifat, atau akurasi estetika--serta mencari topik-topik yang berulang dan memaknai film sebagai upaya alegori, metafora, atau malah tujuan atau pesan  sineasnya.    Tak jarang, teori dan konsep dari ilmu susastra dan seni rupa mendominasi kajian ini, dan fokusnya pada estetika film.

Yang kedua adalah pendekatan sosiologis atau fenomenologis.  Kebalikan dari yang di atas, yang ditekankan adalah unsur ekstrinsik dari film, seperti yang dilakukan peneliti NCH.  Umumnya, pendekatannya adalah seputar penonton dan resepsi film, seperti moral panic, kontroversi dan  gangguan sosial kultural dalam masyarakat saat itu, hirarki selera, atau jaringan akses.  
Ciri-ciri khas dari kajian ini adalah upaya untuk mengambil sumber primer sebagai data-datanya--seperti berita-berita di koran dan  majalah,  resensi, produk undang-undang, karya-karya (apresiasi) penggemar. Jadi, tidak hanya mengutip dari tulisan atau pendapat akademisi, kritikus, atau jurnalis film, apalagi main comot dari situs maya tak jelas.   Menurut  James Chapman, Mark Glancy, dan Sue Harper dalam  The New Film History: Sources,Methods, Approaches (2007)¸ NCH melakukan investigasi empiris terhadap sumber primer yang berkaitan dengan produksi dan resepsi film   yang berfokus pada “dinamika kultural dari produksi film dan sebuah kesadaran bahwa gaya dan konten film tergantung dari konteks produksinya”.  Eric Schaeffer, penulis Bold! Daring! Shocking! True! : A History ofExploitation Films, 1919-1959 (1994), menyebut metode ini dengan “Empirical Imperative”. Kajiannya tidak lagi memperlakukan film sebagai teks atau  salah satu cabang kesenian atau refleksi masyarakat semata.  

Dalam pendekatan New Cinema History, arsip menjadi sumber primer dalam menganalisa. Salah satu contohnya adalah seperti di atas ini.

NCH  meretas jalan untuk pengembangan cabang kajian film lain,  yang lebih kontekstual dan berhubungan  dengan masyarakat dan hal-hal sosial budaya lainnya. Di antaranya, ekonomi politik, politik kebudayaan, politik selera, yang bisa mencakup kajian penonton, kajian konsumsi dan penerimaan film, kajian kebijakan film, dan budaya distribusi dan eksibisi. Biasanya, karena kayanya data primer dari era aslinya, banyak temuan-temuan baru yang jarang diketahui publik,  kadang mengejutkan, yang menambah bahkan, dalam beberapa kasus  bertentangan dengan yang umumnya dipercaya arusutama.
Di Indonesia, walau langka, tapi pendekatan NCH  ini bukan hal baru. Yang paling kentara adalah disertasi doktoral Tanete Pong Masak (1980-1989) yang baru saja diterbitkan menjadi Sinema Pada Masa Sukarno (2016). Di sini, Tanete memakai berita-berita di koran, termasuk yang paling murahan sekalipun, dan memperlakukannya sebagai data penting untuk mencari pola dan tren sosial budaya saat itu. 
Dafna Ruppin juga melakukan hal sama saat menginvestigasi  awal mula distribusi dan eksibisi film di nusantara. Tak hanya itu, dalam disertasinya, The Komedi Bioscoop: The emergence of movie-going in colonial Indonesia, 1896-1914 (2016),   dia dengan terang-terangan menyatakan terpengaruh Maltby.
Garin Nugroho dan Dyna Herlina, dalam  Krisis dan Paradoks Film Indonesia (2013) juga berupaya melihat film dan bioskop sebagai fenomena sosial budaya dan mengaitkannya dengan kejadian-kejadian besar di masing-masing era.
Hal-hal di luar film itu sendiri, yang acap disebut paratex atau inter-text, menjadi data penting untuk   mengetahui gambaran besar jiwa zaman kala itu, poster film, misalnya: materi promosi film di media, dan data-data seputar honorarium pemain film.

Dan, menariknya, arsip-arsip yang kita temukan, seperti skenario yang belum  diterbitkan dan synopsis awal,  juga memberikan analisa baru tentang dinamika sosial politik. Ben Murtagh, misalnya. Dalam  Researching in the Jakarta Film Archive, ia  mengungkapkan bahwa tak jarang dokumen berbeda dengan kenyataan, misalnya film Istana Kecantikan (1988)  tidak memasukkan adegan perkawinan sejenis, yang tercantum dalam skenarionya.  Saya juga merasakan hal yang sama saat memeriksa sejarah Orde Baru, yang katanya penuh dengan tekanan dan sensor terhadap film-film yang penuh adegan kekerasan dan esek-esek, namun di saat yang sama juga melahirkan banyak film-film eksploitasi bertema seks dan kekerasan, bahkan Orba membentuk Prokjatap Prosar (1982-1983) untuk secara resmi mengekspor film-film yang tak dianggap “film nasional” karena tidak merepresentasikan “wajah Indonesia yang sebenarnya” atau bersifat “kultural edukatif”

 

Tentu ada banyak kritikus, jurnalis, dan akademisi lain yang melakukan riset dengan pendekatan serupa. Beberapa nama lain di antaranya,  adalah   Thomas Barker,  SM Ardan, Misbach Jusa Biran,  dan, tentu saja   Krishna Sen.  

Walau demikian, masih sedikit karya, baik popular mau pun akademis, yang melakukan pendekatan sejarah baru ini, khususnya di bidang reception studies, fandom dan consumption studies. Semoga makin banyak yang menganalisa sejarah film dengan pendekatan semacam ini, dan memberikan kebaruan serta memperkaya teori dan kajian yang sudah ada.   

Tulisan versi editnya dimuat di buku acara Usmar Ismail Awards 2017 (April 2017).
Sumber arsip: Perpustakaan KITLV, Leiden, 2008.

Saturday, May 20, 2017

Unduh Gratis: Buku "Menjegal Film Indonesia"


Judul: Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia
Tahun: 2011
Penerbit: Perkumpulan Rumah Film Indonesia dan Yayasan TIFA
Tim  Peneliti dan Penulis: Eric Sasono,  Ekky Imanjaya,  Ifan Adriansyah Ismail,  Hikmat Darmawan

Abstraksi:
Banyak orang tak percaya bahwa industri film Indonesia
sudah ada. Belum ada  infrastruktur, riset dan pengembangan
dan berbagai lembaga  dalam perfilman kita layaknya
yang ada pada sebuah kegiatan  industri. Jika pun ada, bisa
dibilang bahwa industri film  Indonesia masih berupa industri
rumahan; sebuah industri  berskala kecil ke menengah dan
dikerjakan tanpa hubungan  kerja yang jelas.
Inilah sebuah tinjauan yang  mencoba melongok lebih jauh
ke tiga subsektor dalam industri  perfilman kita (jika ada) yaitu  subsektor produksi, distribusi  dan eksebisi. Tidak seluruh  aspek memang dijelajahi  mengingat luasnya subyek ini.   Namun apa yang tergambar di  buku ini bisa menjadi awal bagi sebuah tinjauah lebih dalam  untuk memahami film, yang tak hanya merupakan barang  hiburan, tapi juga merupakan barang publik yang bersentuhan  dengan orang banyak lewat  berbagai cara.

link: https://drive.google.com/drive/folders/0B4N-Lj-NTlIlc2lxMTM2Ul9PRWs?usp=sharing
Alternatif link: https://www.academia.edu/33119861/Menjegal_Film_Indonesia_Pemetaan_Ekonomi_Politik_Industri_Film_Indonesia 

Resensi dan berita:
1. Peluncuran Buku Menjegal Film Indonesia (Filmindonesia.or.id)
2.  Ssst...Ada yang Menjegal Film Indonesia! (Detikhot.com)
3. Peta Awal Industri Film Indonesia - Gatra
4. Bedah buku Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia (Bekraf.go.id)
Dissecting the Indonesian Film Industry