Dimuat di Majalah Fovea, 2014.
Media fans are consumers who also produce, readers who also write, spectators who also participate (Henry Jenkins)
Sebagai seorang yang sedang mendalami film
Cult dan eksploitasi, tentu saya pernah mendengar betapa gokilnya pencinta The Rocky
Horror Picture Show (RHPS, Jim Sharman, 1975) dan bagaimana mereka punya ritual
tersendiri saat menonton.
Ketika mengetahui bahwa film itu akan diputar
di Cinema City, jaringan bioskop art-house
Picture House di Britania Raya, tentu saja saya antusias. Tetapi “membaca” dan “mengalami langsung” adalah dua
hal yang secara signifikan berbeda drastis!
Sebagai gambaran, film
ini beredar di bioskop Amerika pada pertengahan 1970am,. Tepatnya di Westwood,
Los Angeles pada 14 Agustus 1975. Awalnya, saat diputar sore hari, film ini tak
banyak ditonton. Barulah sejak diputar tengah
malam di Waverly Theater, (sebuah bioskop yang sukses memutar midnight
movies seperti El Topo dan Night
of The Living Dead)\di New York City pada 1
April 1976, film ini menjadi istimewa, khususnya bagaimana para penonton maniak
bereaksi sepanjang film. Ini terjadi
karena promosi dari mulut ke mulut penggemarnya. Bersama dengan Pink
Flamingos (1972) dan Reefer Madness (1936), RHPS menjadi salah satu midnight
movie terlaris. Dan di pertengahan 1978, film ini sudah diputar secara
rutin setiap malam Jumat dan malam Minggu tengah malam di lebih dari 50 lokasi,
buletin internal diproduksi, dan para fans berkumpul layaknya sebuah konvensi.
Dan di akhir 1979, film ini diputar dua kali sepekan di lebih dari 230 bioskop. Salah satunya adalah the Museum Lichtspiele cinema di Muenchen,
yang memutarkannya tiap pekan sejak 24 Juni 1977.
Jika kita belum
menontonnya langsung di gedung bioskop—walau pun sudah menontonnya online atau
di televisi atau DVD—anda belum sah menjadi pencinta RHPS dan masih
berstatus ”virgin”. Jika dan hanya jika
kita menontonnya dengan ritual-ritual yang ada, barulah sah dianggap sebagai cult
follower-nya.
Saya pernah menonton midnight
movie. kala itu, di Amsterdam Fantastic
Film Festival 2008, saya bersama Joko Anwar menonton lima film
sekaligus, dimulai dari jam 11 malam dan selesai sekitar pukul 7 pagi. Para
penontonnya sangat interaktif, mereka akan berkeluh kesah jika adegan kurang
sadis, bahkan berteriak ”boo”, atau melempar gulungan tisu toilet. Mereka juga
punya perlombaan, seperti pencarian Ratu Jerit dan lomba kostum horor terbaik.
Tetapi RHPS di atas itu semua. Dan di atas ekspetasi saya!
Kami telat sekitar 5
menit menontonnya, karena agak bentrok dengan ajang Norwich Film Festival. Kami
tiba saat adegan Over at the Frankenstein Place, dan pelan-pelan duduk
di agak belakang. Saat itu, suasana sudah menghangat. Mayoritas memakai kostum heboh
a la karakternya, khususnya Magenta, Columbia, dan Dr. Frank N. Furter, lengkap
dengan dandanan, topi khas, dan rambut palsunya. Saat adegan hujan, kami merasakan rintik-rintiknya,
sementara yang lain sudah mengantipasi dengan menutupi kepala dengan koran. Wow
ada apakah ini? Rupanya sebagian penonton memakai pistol air untuk
menyemprot-nyemprot. Semuanya riang
gembira, tak ada yang protes, seakan sudah tahu bahwa ini bagian dari ritual. Saat
lirik lagu ”there’s a light” berkumandang,
para penonton menyalakan lilin, zippo, senter, dan apapun yang menyala.
Dan tentu sambil berdendang bersama. Mirip dengan melihat konser musik rock!
Adegan berikutnya, Sang
Kriminolog muncul dan kembali bercerita. Di sinilah, saya sadar bahwa setiap
nama Janet disebut, semua orang berteriak ”Slut!”, dan kala Brad disebut semua
memaki ”Ass Hole!”. dan ini dilakukan
secara konsisten, berkali-kali, dengan riang gembira.
Tentu saja, adegan
paling ditunggu-tunggu adalah saat lagu Time
Warp dinyanyikan. Tak ayal, sebagian menonton berdiri dan berjingkrak-jingkrak di atas
kursi, dan malah ada yang maju ke depan dan menari, mengikuti gaya di layar
besar. Dan tentu saja, mereka bernyanyi bersama-sama. Seorang penonton cewek di
sebelah saya, tidak berhenti bernyanyi
dari awal sampai akhir. Tidak hanya itu, dia dan puluhan penonton
lainnya, mengikuti dialog-dialognya, jeritannya, hingga dialek dan ke titik koma.
Dan jika penonton sudah mengutip kalimat-kalimat dari film di luar kepala, termasuk
intonasi dan dialeg hingga titik komanya, ini tanda-tanda sebuah film cult yang
hebat, menurut Umberto Eco.
Ketika tokoh utama
muncul, mereka bertepuk tangan, seolah menyambut pahlawan. Dan lagu Sweet Transvestite pun berkumandang,
seperti karaoke massal. Hingga adegan Dr. Frank mengundang kedua tamunya ke laboratoriumnya.
”So come up to the
lab. And see what's on the slab.
I see you shiver with antici (berhenti beberapa detik)... pation!
But maybe the rain
isn't really to blame
So I'll remove the cause, (berhenti sejenak dan tertawa kecil)…but not the
symptom”.
Demikianlah. Tidak hanya bernyanyi dan menari
atau bertepuk tangan menyoraki adegan tertentu, mereka juga ingin masuk ke
dalam cerita dan mengalami hal-hal yang menimpa karakternya. Saat adegan
pernikahan, para penonton menabur kertas-kertas mengkilap (di bioskop lain, beras
yang ditabur). Kala adegan Dr. Frank memakai sarung tangan karet dan
menimbulkan bunyi khasnya, para fans melakukan hal yang sama untuk mempertegas efek suara.
Yang menarik, tak hanya menikmati dan memuja,
mereka juga mengkritik. Ada adegan Brad dan Janet diantar ke kamar terpisah,
penonton berteriak: “kamarnya kok sama persis, sih!”. Dan saat adegan sudah mau
masuk bagian akhir (yang sengaja tidak saya terangkan di sini), ada penonton
memaki: “Nah! Dari sini cerita tidak logis lagi!”, yang disambar oleh
lainnya dengan satu kalimat yang menimbulkan tawa: “lagi?”. Mengomentari
kesalahan (bloopers, dialog murahan, adegan kocak) adalah hal yang biasa, bahkan lazim terjadi,
karena memang lama-lama pasti terlihat, secara ditonton berkali-kali. Bahkan,
tiap daerah dan fans club katanya punya ritual yang berbeda, kecuali yang
beberapa yang wajib hadir. Dan terkadang, sering ada pertunjukan sebelum film
dimulai, apakah itu kuis, teater mini, bahkan konser music yang mereka ulang
dunia reka-percaya RHPS.
Di arena ini, semua hal
diterima, selama saling menghargai dan menghormati. Tidak ada aturan baku,
khususnya dalam mengomentari atau mereka-ulang adegan.
Perayaaan oleh penggemar
semacam ini adalah tanda-tanda sebuah sinema cult. Umumnya, tidak hanya
partisipasi di gedung bioskop, namun juga dalam memproduksi teks seperti forum,
blog, fanzine, dan newsletter berkala.
Kasus Indonesia?
Bagaimana dengan
Indonesia? Sayangnya, kebanyakan kritikus, jurnalis, dan akademisi film masih
didominasi oleh kajian teks, alias isi dan cerita, tetapi tidak terlalu banyak
yang memperlebar penelitian dan penemuannya pada hal-hal yang bersifat analisa
industri, fan studies, dan reception studies.
Mungkin karena usaha menuju ke arah lain ini belum didukung oleh
fenomena di lapangan.
Di Barat, film-film
eksploitasi Indonesia di akhir 1970an hingga awal 1990an dirayakan dalam bentuk
forum online, blog, dan beberapa pemutaran (nobar). Film-film semacam Jaka
Sembung atau Pembalasan Rambu, semua
yang diedarkan lagi oleh distributor luar, dibahas dengan detil oleh fan yang
haus akan adegan yang dianggap eksotis, aneh, dan penuh petualangan yang
berbeda (the other) dan tak diketahui (the unknown) sebelumnya oleh mereka.
Beberapa orang menamakan film kita macam itu dengan sebutan Crazy Indonesia dan
Indonesia Cine-Insanity. Di Indonesia, Saya melihat cukup banyak penggila film
yang juga kolektor DVD, Laser Disc, bahkan VHS film-film jadul. Dan selain dari
rilisan distributor luar, mereka juga mendapatkan akses lewat Layar Tancap dan
VCD murah meriah dari
Bagaimana dengan film
yang lebih mutakhir? Saya termasuk di antara penonton Kantata Takwa yang
berkaraoke berjamaah satu gedung bioskop di Blitz Megaplex, saat film ini
diputar. Dan, cukup banyak orang yang mengambil beberapa dialog dari beberapa film (seperti Warkop dan Ada Apa
dengan Cinta) untuk dijadikan bagian dari percakapan umum.
Namun, memang,
penelitian di luar text utama (film secara internal) belum terlalu banyak
dilakukan. Kalau pun ada, sebagian
adalah karya akademis dan masih di dalam rak perpustakaan kampus-kampus. Dan, berdasarkan pengalaman saya mengerjakan buku
Menjegal Film Indonesia, kesulitan utama untuk kajian industri adalah dalam
pengumpulan data. Tapi untuk kajian fan dan resepsi, sepertinya bisa dilakukan.
Terus salah gue? Salah
temen-temen gue?
Gila lu, ndro!
Box
Kisah Semesta Campur
Sari yang Bikin Candu
Sebenarnya, apa yang
dikisahkan dalam film Rock Horror Picture Show? Ceritanya sederhana: seorang kriminolog menceritakan tetnang sepasang
kekasih yang baru bertunangan (Brad Majors dan Janet Weiss, yang diperankan
Barry Boswich dan Susan Sarandon, mereka aktor Amerika satu-satunya di film
ini, yang lain diperankan oleh aktor Inggris) yang mobilnya mogok di tengah hutan, di malam
bulan November 1974. Mereka mencari
bantuan di kastil terdekat, yang adalah sekelompok orang yang berkumpul untuk Annual Transylvanian Convention, di antaranya Riff Raff (yang mirip Igor di
film Frankenstein) , adiknya Magenta, dan seorang fans bernama Columbia.
Puncak dari acara itu adalah demonstrasi dari Dr. Frank N. Furter (penampilan perdanaTim
Curry), seorang yang dalam kalimatnya
sendiri adalah ” Sweet Transvestite from Transsexual, Transylvania”,
untuk menghidupkan kreasinya: pria berbadan sempurna bernama Rocky
Horror. Dan, setelah itu, plot bergerak, yang
sebaiknya tidak diceritakan di sini tapi dirasakan langsung. Dan Brad dan Janet
terjebak dalam dunia fantasi yang unik, kumpulan makhluk dari planet Transexual di galaksi of Transylvania,
khususnya sang saintis.
Film gaya apakah ini?
Jika dilihat dari adegan awal yang ikonik, bibir merah perempuan menyanyikan
lagu Science Fiction/Double Feature, kita langsung menyadari bahwa ini adalah
gabungan antara sci-fi dan musikal.
Tokoh utama yang ilmuwan, joget-joget diiringi lagu Time Warp tentang
mesin waktu, adalah elemen yang kental dengan fiksi-sains. Dan musik-musiknya,
begitu mudah diingat dan juga untuk membuat badan bergoyang. Tentu saja, tokoh
Riff Raff dan Rocky Horror mengingatkan kita pada kisah Frankenstein, khususnya
film The Revenge of Frankenstein. Salah satu lagunya dengan terus terang
menyebutkannya: Over at the
Frankenstein Place.
Awalnya, cerita RHPS dipentaskan untuk drama panggung, ditulis oleh Richard O’Brien (yang menjadi Riff Raff), dan pertama kali dipanggunggkan di the Royal Court Theatre Upstairs, London, pada 19 Juni 1973, dengan pemain Tim Curry, Julie Covington, Christopher Biggens, Richard O'Brien, Patricia Quinn, Nell Campbell, Paddie O'Hagan and Rayner Bourton. Sebagian dari mereka main lagi di filmnya.