Spoiler Alert
Dalam sebuah seminar PhD di University of East Anglia, sekitar 2014, seorang peneliti menyatakan bahwa series zombies belakangan ini sudah bergeser tidak lagi berfokus pada kecemasan dan horor kemungkinan akhir dunia karena wabah virus. Dengan memakai kasus The Walking Dead, akademisi ini--sayangnya saya lupa dan belum nemu nama dan judul papernya--menyatakan bahwa yang lebih ditekankan adalah rasa kesedihan, kehampaan, rasa duka (grief).Teori ini bisa diterapkan di All of Us are Dead, series 12 episode dari Netflix. Kita bisa melihat sejak dari episode pertama, bagaimana para karakter utama kehilangan satu demi satu orang-orang yang ia sayangi.
Rasa kehilangan adalah hal manusiawi. Demikian pula dengan perubahan karakter. Dilema moral berkali-kali muncul di hampir semua episode. Dunia tidak hitam dan putih. Manusia, apalagi remaja yang masih duduk di kelas 11 dan 12 yang penuh gejolak dan belum stabil, pun diombang-ambingkan dengan keadaan yang selalu genting, sehingga dipaksa untuk bertindak tidak hanya soal benar atau salah, baik atau buruk, tapi juga selamat atau mati. Ada yang mesti bertindak yang bertentangan dengan hati nuraninya. Walau ada pula yang sejak awal memang karakternya jahat, perundung, dan semakin jahat dengan kekuatan baru yang ia dapatkan.
Series ini, seperti sebagian kisah zombie lainnya, tidak hanya tentang bagaimana selamat dari zombie apocalypse. tapi juga mengandung hubungan antar manusia (sahabat, pacar, anak-orang tua, siswa-guru, tentara-sipil) yang kuat dan manusia. Tidak melulu teror dengan nafas terengah-engah.
Dan yang paling saya rasakan, setelah menonton tuntas, adalah rasa sedih, hampa, dan kehilangan. Bukan lagi persoalan seram, apalagi jumpscare belaka.