Oleh: Ekky Imanjaya (sutradara dokumenter The Tielmans)
Kata Pengantar untuk buku Membaca Indorock, Mendengarkan Nostalgia (Donny Anggoro, 2021), dan memperingati 10 tahun wafatnya Andy Tielman)
Berbicara
soal indorock, mengingatkan saya pada era 2007-2008, saat saya studi master di
Universiteit van Amsterdam. Saya termasuk yang beruntung, dalam waktu setahun
itu, saya berhasil mengeksplorasi genre
musik Indorock, dan budaya Indo/Indisch secara umum. Saat itu, saat itu majalah Rolling Stone membuat artikel tentang
Andy Tielman dan The Tielman Brothers, dan saya yang berada di Belanda merasa wajib untuk
mengejar Andy Tielman, satu dari dua
orang yang tersisa dari band legendaris The Tielman Brothers.
Tapi
justru kejadian tak terduga yang mengantarkan saya pada pertemuan pertama itu.
Di Bintang Theater di Pasar Malam Besar, 31 Mei 2008, Den Haag, saya memisahkan diri dengan rombongan
teman-teman, karena tertarik dengan poster Tjendol Sunrise. Ini adalah band
kekinian saat itu, kumpulan anak muda yang punya semangat menghidupkan kembali
Indorock. Mereka baru merilis album (sayangnya rilisnya hanya berselang
beberapa hari sebelumnya), berkolaborasi dengan Andy Tielman.
Saya hanya kebagian menonton beberapa lagu
terakhir. Tapi setelah itu saya tetap bertahan. Karena setelah itu ada pentas
yang saya tunggu-tunggu, yang tak sengaja saya lihat posternya saat menuju ke
panggung itu: Andy Tielman!
Saya
pun menonton hingga habis, dari pembukaan, si mungil Lorraine Jane memberikan
bunga kepada ayahnya, hingga lagu penutup Rasa Sajange/Glory Halelujah
yang membuat seluruh ruangan bernyanyi Bersama. Semuanya saya abadikan dalam
tulisan yang dimuat di Koran Tempo. Dan dengan pede saya tembak beliau: saya
ingin membuat film dokumenter! Dan saya pun mengikutinya hingga ke kota kecil
Bernama Steinweijk.
Seperti
saya sebut di atas, Indorock adalah bagian dari budaya besar, budaya
Indisch/Indo. Indorock di sini adalah aliran rock kaum Indisch/Indo. Ada tiga
kategori untuk menyebut “indisch”. Pertama, orang Belanda murni atau ‘totok’
yang lahir di tanah jajahannya yaitu Indonesia. Kedua, adalah campuran antara
Indonesia dengan Belanda seperti Alex –Eddie Van Halen bersaudara. Ketiga,
adalah orang-orang murni Indonesia tapi bekerja untuk KNIL atau untuk
pemerintah Belanda pada umumnya, seperti keluarga Tielman. Nah, ketiganya
disebut “indisch” yang di Indonesia mereka juga dianggap sebagai “pengkhianat”,
sedangkan di Belanda mereka dianggap
warga negara kelas dua—tak heran banyak yang hijrah, misalnya ke Los Angeles
dan Australia.
Ketika
mereka terpaksa harus berimigrasi secara besar-besaran pada 1957, saat Presiden Sukarno memberi ultimatum kepada
“warga indisch” ini untuk memilih kewarganegaraan, maka di Belanda pun mereka mempunyai semacam
sub kulturnya sendiri. Mereka ingin diakui sederajat. Karena itulah, menurut
pentolan Tjendol Sunrise, Andy Tielman sangat penting karena bukan hanya
pahlawan musik, tapi juga pahlawan kaum Indo.
Kaum Indisch ini kemudian membuat Pasar Malam, yang menjadi Gerakan budaya untuk
menunjukkan identitas dan mengukuhkan kesejarahan mereka dengan tanah air
keduanya, Indonesia. Saya beruntung mengalami langsung subkultur itu di Belanda.
Pasar Malam ini adalah ajang terbesar di sana selain North Sea Jazz dan
Rotterdam Film Festival. Di Pasar Malam ini, atau juga acap disebut Festival
Tong Tong, berkumpul subkultur kaum Indo lainnya: Bahasa Petjok, Indorock,
Keroncong, dan tentunya berbagai makanan khas nusantara era colonial.
Andy
Tielman, dengan Indorock-nya, dianggap sebagai pahlawan kaum Indisch. Pada
2008, sesaat sebelum pulang ke tanah air, saya berada di tengah persiapan acara
Nederpop, yang rencananya saat itu digelar
Oktober 2008, di mana di situ diperdengarkan
pula lagu “Little Baby Rock of Mine”
(1959) yang dianggap sebagai pelopor “NederPop” alias musik pop Belanda. Dan
tentu pengaruh band sekeluarga itu terhadap skena musik, termasuk kekaguman Jan
Akkerman (salah satu gitar terbaik dunia) dan Golden Earring terhadap mereka.
Akhirnya,
dengan lagu debut mereka itu, The Tielman Brothers diterima publik Negeri
Kincir, setelah sebelumnya mereka pergi keliling Eropa,salah satunya ke Belgia,
mengumandangkan irama “rock n roll”, yang kala itu masih asing dan dianggap
pengaruh buruk. Mereka juga lalu berpetualang ke Hamburg. Masalahnya, yang
sering dibahas jika membicarakan Indorock adalah mitos-mitos seperti The
Beatles terinspirasi dari mereka ketika ke Hamburg. Padahal tidak cukup bukti
soal hal ini, mengingat semua band era itu di Hamburg rata-rata memang punya
aksi panggung gila-gilaan. Dan di Museum the Beatles di Liverpool, khususnya di
bagian Hamburg, tidak ada nama The Tielman Brothers sedikitpun di antara daftar
nama yang berjasa pada The Fab Four di era itu.
Tentu
saja berbicara soal subkultur budaya Indisch, khususnya Indorock, tidak hanya
terhenti pada Andy Tielman dan The Tielman Brothers. Buku ini menarik karena,
selain masih sedikit yang membahas
Indorock, juga membahas tentang band-bang Indorock lainnya. Dengan begitu, buku
ini memperkaya wawasan kita tentang genre rock yang nyaris terlupakan ini. Dan
uniknya, ada pembahasan tentang band Indonesia yang juga turut melestarikan
music aliran ini.
Selamat
kepada Bung Donny Anggoro atas terbitnya buku ini.
Kepada
pembaca, selamat menikmati dan berselancar di semesta Indorock!
Jakarta, 28 Juli 2021,
Ekky
Imanjaya